Kudengar Bimo menghela napas kasar sebelum kudengar suara pintu tertutup.

Aku hendak memejamkan mata saat ponsel Bimo tiba-tiba berdering. Awalnya aku mengabaikan. Tapi, sepertinya Bimo belum kembali ke dalam kamar, dan seseorang dari sebrang telpon juga sepertinya tidak mau mengalah. Bisa kuhitung, sudah tiga panggilan yang tak terjawab.

Mau tak mau aku bangkit dan meraih ponsel Bimo yang masih berdering. Satu panggilan masuk. Sambil sesekali menatap pintu kamar mandi aku melihat siapa yang menelpon semalam ini.

Keningku mengernyit saat melihat nama kontak yang tertera pada layar yang berkedip itu. Dea.

Wanita itu? Mau apa dia menelpon suamiku selarut ini? Dan dia menelpon sejak tadi, apa dia punya urusan penting dengan Bimo malam ini. Pemikiran negatif menyerang pikiranku. Apa Bimo mempunyai janji temu dengan Dea dan mungkin Bimo lupa. Akhirnya Dea menelpon Bimo.

Aku hendak men-slide, untuk menerima telpon itu. Tapi, gerakanku terhenti saat tidak lagi kudengar suara air dari kamar mandi dan kudengar suara handle pintu bergerak.

Aku menyimpan kembali ponsel Bimo bersamaan dengan telpon itu yang berhenti berdering. Lalu kembali membaringkan tubuhku di posisi semula.

Bimo sepertinya berjalan ke arah lemari dan membukanya. Hening tak ada suara. Hingga suara ponsel Bimo yang berdering kembali memecah keheningan.

Aku menajamkan pendengaranku saat kedengar langkah Bimo mendekat.

"Halo De? Ada apa?" gumam Bimo tenang. "Lo kenapa?" Kali ini Bimo berucap cemas. "Bagaimana bisa?... terus lo dimana sekarang?... oke, oke lo tunggu disana, jangan kemana-mana. Tetap di posisi. Gue kesana sekarang."

Hening.

Tidak ada lagi suara Bimo yang terdengar.

Tak lama aku merasa tempat tidur di belakangku bergerak menurun. "Maafkan aku, sayang. Bukan maksud aku mengecewakanmu," ucap Bimo sebelum mencium keningku. Lalu, tempat tidur kembali datar saat Bimo turun dari tempat tidur.

Aku berbalik setelah kudengar pintu kamar tertutup. Apa yang mereka bicarakan? Kenapa Bimo terdengar cemas sekali? Dan apa yang akan membuatku kecewa? Kenapa harus meminta maaf?

Dengan tidak sabar aku turun dari tempat tidur dan mencari kardigan di dalam lemari. Daripada aku penasaran, sebaiknya aku harus mencari tahu dan mengikuti Bimo.

Aku mengambil kunci mobil di dalam laci dan bergegas melangkah keluar rumah. Langkahku terhenti saat aku berpapasan dengan Fabian.

"Mau kemana kamu, Anna?" Fabian melihat penampilanku lalu berhenti pada kunci mobil di tanganku.

"Aku ada urusan sebentar, Fa." Kembali aku melangkahkan kaki-ku menuju luar rumah. Tapi Fabian menahanku.

"Ini sudah malam, ada urusan apa malam-malam begini?" Fabian mengernyit menatapku. Seharusnya pertanyaan itu yang aku harus tanyakan pada Bimo. Ada urusan apa Bimo dan Dea malam-malam begini?

"Fa, aku hanya sebentar," jawabku sudah tidak sabar.

"Tidak, Anna! Bisa marah kak Bimo kalau dia tahu."

"Fabian lepaskan! Bimo tidak akan tahu. Aku hanya pergi sebentar." Kuhempaskan tangan Fabian yang menahan lenganku.

"Tapi Anna-" Aku langsung melengos pergi tak memperdulikan teriakan Fabian memanggil namaku.

Setengah berlari aku masuk kedalam mobil. Untung saja aku masih bisa mengejar mobil Bimo. Sebisa mungkin aku menjaga jarak mobilku dengan mobil Bimo yang melesat cepat. Sebegitu mencemaskannya kah Bimo pada Dea?

My Last Happiness (TELAH TERBIT)Where stories live. Discover now