"Aiiiiih... gemes banget sih wajah kakak kalau lagi cemburu," kataku sambil mencubit kedua pipinya dengan gemas.

"Anna! Sakit!" ujar Bimo tajam melepaskan dengan paksa tanganku di pipinya. Ucapan Bimo tak berpengaruh padaku. Aku menggandeng lengannya lalu menariknya ke ruang makan.

Sampai di ruang makan. Aku duduk di samping Bimo dan Bagas di hadapan kami. Dari sudut mataku aku bisa melihat Bimo yang selalu melemparkan tatapan permusuhan untuk Bagas. Yang di tanggapi tenang oleh Bagas. Entah kenapa Bimo terlihat tidak suka sekali pada Bagas.

Aku mengalas makan untuk Bimo. Setelah selesai aku mengalas makanan untuk Bagas.

"Tidak usah! Biar dia sendiri." Bimo menahan tanganku yang sedang ingin mengalas nasi di piring Bagas. "Kaya anak kecil saja di layani." Bimo menatap tajam Bagas.

"Lalu kamu apa?" Bagas membalas sambil menyendokan nasi ke piringnya.

"Aku suaminya. Sudah sewajarnya seorang istri melayani suaminya."

"Aku juga disini sebagai tamu. Harusnya di perlakukan dengan baik. Pendidikan sih boleh tinggi tapi etitude menjamu tamu saja tidak mengerti," sindir Bagas. Membuat Bimo menggeram kesal.

"Jangan mengajariku bocah! Dasar tamu tak di undang," seru Bimo sengit. Sebenarnya ada apa dengan mereka? Kenapa mereka tampak tidak saling menyukai?

"Sudah, sudah. Kalian ini kenapa kok malah beradu mulut. Kak, Bagas benar dia 'kan tamu. Jadi harus di perlakukan dengan baik," ucapku menciptakan senyum kemanangan di bibir Bagas.

"Hm... dengar itu om!" gumam Bagas setuju dengan ucapanku. Dia menunjukku dengan sendok nya di pengannya.

"Jadi kamu membelanya?" Bimo menyimpan sendok yang di pegangnya lalu menatapku tajam.

Aku menghela napas tak menjawab ucapan Bimo. Huft, umur sih boleh banyak. Tapi kelakuan gak jauh beda sama abege labil. Umur memang tidak menentukan kedewasan seseorang.

Selesai menyelesaikan sarapan yang tidak nyaman karena Bimo dan Bagas tak henti-hentinya melemparkan saling ingin membunuh. Aku mengikuti Bimo ke kamar untuk menyiapkan semua keperluan kerja Bimo

"Ingat jangan dekat-dekat dengan si Bagas-Bagas itu!" perintah Bimo saat aku sedang memasang dasinya.

"Dia itu sepupu sekaligus sahabat terbaikku sejak kecil, Mas." Aku merajuk.

"Tetap saja aku tidak suka sama dia. Pokoknya kamu tidak boleh membantah. Kalau kamu mau seharian ini kamu jangan ada dirumah. Pergi saja belanja dengan Firly, kamu bisa habiskan kartu debitmu. Asal kamu tida berada di dekat sepupumu itu!" Aku terkekeh geli melihat kecemburuan Bimo yang berlebihan.

Aku menggeleng-geleng melihat Bimo. "Sudah jangan berlebihan." Aku menarik dasi yang aku pakaikan ke atas. Lalu membenarkan kerah baju Bimo. "Nah sudah rapi. Ayo aku antar keluar." Aku menepuk-nepuk bahu Bimo setelah membantunya memakai jas kerjanya.

"Oh iya Mas, kemarin Mommy kesini. Katanya seminggu lagi akan mengadakan pertemuan keluarga."

Bimo merangkul bahuku dan menghelaku keluar kamar. "Iya Mas sudah tahu, kemarin Daddy menelpon dan memberitahu. Kita sewa jasa EO saja, jadi tidak usah repot-repot menyiapkannya sendiri." Aku mengangguk mengerti.

Bimo mencium keningku sebelum dia masuk ke dalam mobilnya. "Ingat kata-kataku!"

"Iya bawel," jawabku jengah. Aku menunggu mobil Bimo keluar dan menghilang di balik gerbang sebelum masuk kembali ke dalam rumah.

Di sofa ruang tamu tampak Bagas sedang sibuk dengan koran dan teh-nya. "Keluarga suamimu itu aneh-aneh ya prilakunya. Sepertinya mereka semua punya penyakit hypertensi." Gumam Bagas tanpa mengalihkan pandangannya dari bacaannya. "Hobi ko marah-marah." Tambahnya.

My Last Happiness (TELAH TERBIT)Where stories live. Discover now