"Anna!!" seru Bimo dengan nada suara yang lebih tinggi. Dalam hati aku tertawa. Ugh, menggemaskan sekali suamiku kalau lagi marah cemburu kaya gini.

Bimo melepaskan tangannya di wajahku lalu menatapku intens, kedua tangannya dilipat di tepi tempat tidur. "Sekarang jujur, apa kamu pernah punya hubungan dengan dia?"

"Memannya kenapa!" Aku memalingkan wajahku saat menjawab. Aku tidak pernah punya hubungan dengan Divan. Tapi, rasanya menggoda Bimo menyenangkan.

"Jawab pertanyaanku Anna!" Bimo menarik daguku agar aku melihat ke arahnya.

Aku menghela napas, lalu menghembusnnya.

"Tidak suamiku tercinta. Kak Divan hanya temen saja." Dengan gemas aku mencubit hidungnya.

Bimo menggelengkan kepalanya menghindari cubitanku, "Aku serius Anna!" tanyanya tegas.

"Aku duarius. Kak Divan memang dulu pernah suka sama aku. Tapi, itu dulu banget pas aku masih SMA."

"Kok kamu tahu dia pernah suka sama kamu?" Bimo menatapku menyelidik dan mengangkat satu alisnya.

"Yaiyalah tahu. Bahkan sampai satu sekolah tahunya juga. Dia itu cowo romantis banget, dia nembak aku lewat radio sekolah. Hm... gantle banget, 'kan dia?" Aku mengalihkan pandanganku. Memasang senyum di wajahku seakan-akan sedang membayangkan moment saat itu.

"Cih, nora banget nembak cewe kaya gitu. Gak ada gantle-gantle nya! Dan kalau di bandingkan masih romantisan Mas kemana-mana. Memangnya kamu tidak ingat saat Mas menyatakan perasaan Mas di pulau itu?" Barulah kali ini ingatanku menerawang pada kejadian beberapa tahun yang lalu. Bukan hanya di waktu itu saja. Bimo memang selalu bersikap romantis terhadapku.

"Apa kurang romantis, hah?" Suara Bimo mengembalikan lagi aku pada waktu sekarang.

"Biasa aja," jawabku tak acuh. Aduh suamiku, apapun yang kamu lakukan. Kamu adalah pria paling romantis yang pernah aku temui di dunia itu. Jadi seharusnya kamu tidak usah tanya lagi. Gumamku dalam hati.

"Enak saja kamu bicara biasa aja. Saat itu Mas siapin matang-matang untuk hari itu!" potes Bimo tak terima dengan jawabanku.

Aku menatap Bimo lembut dan tersenyum. Aku mencium jari-jariku lalu menempelkannya pada bibirnya. "Kamu pria paling romantis di dunia ini Mas. Tidak ada duanya." Kali ini senyum mengembang di bibirnya.

Dan tak lama berubah jadi seringaian licik. "Kok gak langsung aja ciumnya? Sepertinya sekarang saatnya melanjutkan aktifitas yang tertunda tadi." Aku memejamkan mata saat Bimo membungkuk di atasku. Sesuatu yamg lembut kini menyapu lembut bibirku.

"Ehem..." mataku terbuka sempurna, langsung menatap mata Bimo yang juga menatapku dengan bibir yang belum terlepas saat suara deheman seseorang mengembalikan kami kedalam dunia nyata. Membuyarkan gairah yang mulai muncul.

"Sial!" umpat Bimo saat ciuman kami terlepas.

Aku dan Bimo bersamaan menoleh ke arah suara. Sudah berdiri dua orang di dekat pintu. Pria yang memakai jas putih yang memeriksa keadaanku menggelengkan kepalanya melihat ke arah kami. Sedangkan seorang suster di belakangnya tampak sedang menahan tawa. Membuat pipiku memanas karena malu.

"Pagi, Dok," sapa Bimo tersenyum kearah pria yang mungkin masih berumur 40-an yang sekarang sedang melangkah kearahku.

"Pagi, Pak Farell." Dokter itu manjawab dengan ramah.

"Jadi, kapan istriku bisa pulang, Dok?" tanya Bimo setelah dokter selesai memeriksa keadaanku.

"Sepertinya besok juga sudah boleh pulang." Senyum mengambang di bibir Bimo lalu menatapku penuh arti. "Oh iya Pak, sebaiknya Bapak sama Ibu jangan melakukan hubungan suami istri dulu. Sebelum kondisinya benar-benar pulih." Kali ini ekspresi penuh arti itu berubah. Senyum yang mengembang di bibir Bimo meredup. Aku terkekeh melihat perubahan ekspresi itu.

"Tidak boleh dulu, dok? Berapa lama?" Oke, kali ini nada bicaranya terdengar tidak terima dan protes.

"Ya... mungkin satu sampai dua minggu."

"What?!!" Aku sampai kaget saat Bimo menaikan nada suaranya. Persis seperti membentak lawan bicaranya. Kulihat wajah dokter itu hanya tersenyum biasa-biasa saja. Sedangkan suster yang sedang memeriksa selang infusku tampak menahan tawanya. Terkekeh geli. Dan aku semakin malu dengan ulah Bimo kali ini.

Ih sumpah, tidak bisakah dia bersikap biasa saja? Dasar maniak seks. Ini resikonya menikah dengan om-om mesum macam Bimo. Huft...

Besok paginya aku pulang. Hari ini Bimo tidak masuk kerja karena harus menemaniku. Mungkin besok baru dia masuk bekerja, karena pekerjaan yang menumpuk sudah menunggunya di kantor. Dan meminta untuk di kerjakan.

Banyaknya pekerjaan yang harus dikerjakan menjadi keuntungan tersendiri bagi Bimo. Karena dengan menyibukan diri di ruangan kerjanya, Bimo bisa menghindari untuk menyentuhku.

Seperti malam ini misalnya, jam tujuh malam Bimo baru pulang kerumah. Selesai makan dan mandi dia masuk kedalam ruangan kerjanya dan menyibukan diri disana. Dini hari baru dia akan kembali ke kamar untuk tidur.

Tapi, ada yang berbeda malam ini. Aku tidak merasakan kehadirannya malam ini. Dan benar saat aku bangun, Bimo tidak ada di tempatnya. Aku melihat pada jam di handphone, ini sudah pukul empat pagi. Biasanya pukul dua atau setengah tiga Bimo sudah kembali ke kamar.

Aku menyibak selimut dan turun dari tempat tidur. Lalu bergegas keluar dari kamar melangkah ke ruangan sebelah.

Perlahan aku berjalan masuk ke dalam. Benar seperti dugaanku, dia tertidur di ruangannya. Aku duduk di tepi sofa tempat Bimo tertidur. Aku tersenyum melihat wajah terlelap nya. Dan sepertinya aku tidak akan tega kalau harus membangunkannya. Dia pasti sangat lelah sekali karena berkas yang mungkin sedang di pelajarinya masih dia pegang sekarang.

Kuraih berkas itu dan menyimpannya di atas meja kerjanya. Lalu kembali ke dalam kamar dan membawa selimut untuknya.

Kubelai setiap inci wajahnya yang terpahat sempurna. Aku mempunyai suami yang mengagumkan. Saat tertidur saja Bimo terlihat tampan, bahkan lebih tampan dibandingan kalau dia sedang bangun dan mengomel.

Aku merapatkan selimut yang aku bawa menutupi badannya.

"Selama malam suamiku sayang. Mimpi indah." Cup. Satu kecupan mendarat di pipinya.

Aku hendak baranjak saat tiba-tiba kudengar Bimo mengigau. "An..." Bibirku mengulum senyum saat Bimo mengigau namaku. Tampaknya dia sedang memimpikan... "Dea." Tunggu dulu! Apa katanya barusan? "Dea, jangan." Oke, kali ini sangat jelas sekali. Bimo bukan sedang memimpikan aku. Dan siapa Dea? Apa yang dia mimpikan? Kenapa bibir Bimo bergerak-gerak? Apa Bimo sedang bermimpi berciuman?

Raut wajah senangku berubah menjadi masam. Apa-apaan ini? Berani-beraninya suamiku sendiri mengigau nama perempuan lain di ha.da.pan.ku. sendiri!!

"Lihat saja nanti apa yang akan gue lakukan sama lo Om mesum!" gumamku tajam dan kesal.

Aku menghentakkan kakiku sebelum keluar dari ruangan kerja si Om mesum ini. Amarah dan kekesalan mengantarkanku kedalan kegelapan yang sunyi.

Aku juga bisa memimpikan pria impianku!!

-------------------------------------------------------------

TBC..

AH, DATAR BANGET PART INI :((

TAPI SEMOGA MASIH TERHIBUR YA SAMA BACAANNYA GUYS.

SEMOGA BAPER YEEEE :))

VOTE AND COMMENT-NYA AKU TUNGGU LHOOOO..

SEE YOU

My Last Happiness (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang