Sepeninggalan Bimo aku membantu Rana membereskan barang-barangnya dengan sekuat tenaga aku bergerak. Karena perutku semakin lama semakin terasa sakit. Tak lama Bimo kembali ke dalam kamar. "Ayo kita pulang, sudah beres semuanya, 'kan?"

Aku menghela napas, mencoba menyembunyikan kesakitanku yang mulai mereda. "Sudah Mas, ayo!" gumamku menjawab pertanyaannya.

Sambil menyeret koper yang sudah penuh dengan barang-barang Bimo berjalan terlebih dahulu keluar dari apartement. Dengan aku dan Rana yang mengekorinya di belakang.

Selama di dalam mobil aku tak sedikitpun aku mengalihkan pandanganku pada Bimo yang fokus menyetir. Karena aku takut dia tahu keadaanku setelah melihat wajahku yang pucat. Aku tidak mau membuatnya semakin merasa khawatir memikirkan aku.

"Kakak, aku pulang ke rumah om Chris aja, ya?" ucap Rana tiba-tiba memecah keheningan diantara kami.

"Kenapa?" Bimo melihat bayangan Rana pada spion tengah.

"Iya aku pulang ke rumah om Chris aja. Aku takut merepotkan kakak. Di sana ada tante Dela yang rawat aku. Kakak harus rawat kak Anna, lihat itu wajahnya pucat banget." Aku menoleh ke arah Rana yang duduk di kursi belakang setelah mendengar ucapannya. Lalu menoleh ke arah Bimo yang menatapaku cemas.

Tak lama Bimo langsung menepikan mobilnya di pinggir jalan.

"Sayang kamu kenapa?" ucap Bimo cemas, dia meraih tanganku dan mengangkup wajahku dengan kedua tangannya.

Aku tersenyum dan menepukan tanganku pada tangannya. "Aku tidak papa, tanganku sedikit sakit saat nahan jatoh tadi. Tidak usah khawatir." Oke, aku berbohong. Dan aku tidak tahu untuk apa aku berbohong. Yang jelas aku tidak mau membuat dia khawatir dengan kondisiku.

Setelah mendengar ucapanku Bimo buru-buru meraih tanganku. "Mana yang sakit, Sayang?"

"Sudah tidak sakit kok, ayo jalan lagi saja. Aku tidak papa, Mas." Aku menarik tanganku dan memegang pipinya lembut.

"Kamu yakin?" Aku menjawabnya dengan anggukan. Setelah itu Bimo kembali melajukan mobilnya ke arah rumah tante Dela.

Sampai di rumah mertuaku aku ikut turun untuk sekedar bersalaman setelah itu kembali lagi ke dalam mobil karena perutku terasa sakit kembali. Untung saja tante Dela sedang tidak berada di rumah karena kalau tidak aku akan berlama-lama di dalam mendapat nasihat sekaligus sindirannya.

Selang lima belas menit aku berada di dalam mobil, Bimo kembali datang. Pandanganku mengikuti dia yang sedikit berlari memutari mobil, lalu masuk ke dalam mobil. "Kita kerumah sakit, Sayang. Kamu harus ronsen tangan kamu. Takut terjadi cedera, 'kan," ucap Bimo sambil menstarter mobilnya.

"Tidak usah, Mas. Aku sudah tidak apa-apa. Nanti minta di pijat Mbak Asih saja. Aku mau pulang aja. Aku cape, Mas," tolakku pelan menahan sakit yang sudah mulai kembali tidak terasa.

"Kamu yakin, Sayang?" Bimo mengadapkan tubuhnya ke arahku dan tangannya mengelus rambutku lembut.

Aku tersenyum dan mengangguk pelan. "Tapi perutmu tidak sakit 'kan, Sayang?" tanyanya kembali yang aku balas dengan gelengan. Berbohong lagi.

"Yasudah kalau begitu." Setelah mengelus dan mencium keningku Bimo menjalankan kembali mobilnya.

Selama dalam perjalanan aku sama sekali tidak mengeluarkan suaraku yang membuat aku menjadi mengantuk hingga akhirnya aku tidak bisa menahan lagi kantukku dan kegelapan merenggutku dari terang.

Saat terbangun aku mengerjapkan mata dan menyapukan pandanganku. Ini sudah berada di dalam kamar dan sepertinya ini sudah malam. Rasa sakit di perutku sudah tidak terasa lagi, hanya sedikit pusing saja. Pandanganku beralih pada tempat tidur di sampingku. Suamiku tidak berada di tempatnya.

My Last Happiness (TELAH TERBIT)Where stories live. Discover now