"Dasar mantu kurang ajar!" ujarnya setelah mertuaku itu sudah masuk ke dalam mobil.

"Lo tuh mertua kurang ajar. Menyebalkan tingkahnya. Ini anak gue lah. Orang dia tumbuh di rahim gue. Euh gue bakar jug--" cerocosku terhenti saat tiba-tiba mobil yang di tumpangi tante Dela berhenti. Tak lama kulihat dia mengeluarkan kepalanya dan menatapku sinis.

"Jangan berani-benarinya mengumpat dan mengatai Mommy Anna!" teriakknya sebelum akhirnya mobil itu kembali melaju.

Memang magic aku punya mertua kaya tante Dela. Kadang aku ingin tertawa sendiri di sela kekesalanku saat melihat tingkahnya yang super duper aneh.

Aku kembali kedalam rumah setelah mobil yang di tumpangi tante Dela menghilang di balik gerbang. Kulihat Rana sedang sibuk melihat-lihat seisi rumah ini. Pandanganku kualihkan pada koper-koper besar yang di bawa Rana. Udah kaya mau pindahan aja ini orang. Banyak banget barangnya.

"Mang Ujang!" teriakku memanggil tukang kebun rumah ini. Membuat Rana menoleh ke arahku.

Tak lama seseorang yang aku panggil tadi berjalan terpogoh-pogoh ke arahku. "Iya, Non?" ucapnya sopan.

"Tolong bawa koper ini ke kamar tamu ya," titahku menunjuk koper-koper besar itu.

"Kak, aku kamarnya dimana?" tanya Rana saat Mang Ujang hendak membereskan barang-barangnya.

"Kamu di atas aja ya, Rana. Tidak apa-apa, 'kan. Soalnya hanya kamar itu yang sering di bersihin. Yang lainnya masih berantakan."

"Kalau kamar Kakak?" tanyanya.

"Itu yang di bawah tangga," jawabku menunjuk ke arah pintu kamarku.

"Emm... kalau gitu aku di kamar sebelah Kakak aja ya, soalnya aku takut kalau tidur sendirian di atas. Gak papa 'kan, Kak?" ucapnya merangkul bahuku.

"Tapi kamar itu belum di bereskan..."

"Tidak papa, biar aku bantu bereskan saja sekarang. Ayo Mang Ujang!" Dia memotong kalimatku. Lalu mulai membenahi barang-barangnya ke arah kamar di sebelah kamarku.

Aku hanya mengangkat bahuku tak acuh melihat Rana yang semangat membereskan barang-barangnya. Setelah semuanya selesai aku kembali ke dalam kamar dan melanjutkan aktifitas tertundaku, yaitu menonton.

Aku meraih ponselku dan melihatnya, Tidak ada satu notif masuk dari Bimo. Apa pekerjaannya sebegitu sibuk 'kah? Sampe-sampe tidak memberiku kabar.

Akhir-akhir ini perusahaannya memang sedang naik. Itu sebabnya dia jarang sekali gak punya waktu buatku. Kecuali tengah malam dan pagi harinya.

Aku menajamkan pendengaranku saat kudengar ada yang menangis. Dan benar, memang ada yang menangis. Kuturunkan kakiku dari tempat tidur dan melangkah ke arah pintu kamar.

Suaranya terdengar dari kamar sebelah yang menjadi kamar Rana, apa Rana yang menangis? Kenapa dia? Aku melangkah ke arah kamar itu dan membuka pintu kamarnya.

"Sayang, aku pulang..." teriak suara seseorang yang aku rindukan. Aku mengurungkan niatku untuk membuka pintu kamar Rana dan menoleh ke belakang.

"Mas Bimo?" gumamku seakan tak percaya yang aku lihat memang benar dia. Apalagi setelah aku melihat jam yang tak berada jauh dariku. Ini baru pukul 3 sore, dan dia sudah pulang. Sangat mustahil, mengingat dia selalu pulang larut malam.

"Iya Sayang ini aku. Kemarilah, aku merindukanmu." Bimo menarik tanganku dan memelukku. Bukannya senang aku malah merasa aneh dengan tingkahnya.

"Ih apaan sih?" ujarku mendorong tubuhnya membuat dia mengernyit.

My Last Happiness (TELAH TERBIT)Where stories live. Discover now