Tapi…
“Aduh... gabisa. GUE CEMBURU!”
***
Pagi itu, langit masih sembab dengan sisa gerimis semalam. Fattah datang menjemput Zara ke sekolah, mengendarai Mini Cooper maron kesayangannya. Mobil yang sudah lama tak ia pakai.
“Pagi, Zara...” sapa Fattah sambil tersenyum hangat.
Zara membalas dengan senyum kecil. “Hai, Fattah... tumben kamu bawa mobil ke sekolah?”
“Lagi pengen aja” jawab Fattah santai.
Di dalam mobil, Fattah memutar playlist favoritnya. Lagu-lagu indie penuh kenangan menyatu dengan hembusan AC yang lembut. Ia tersenyum kecil saat lagu lama masa masa bersama Aqeela mulai terdengar.
“Maaf, Zara. Aku mau ambil barang di dashboard. Bisa tolong bukain? Kalau nggak salah, earphone lamaku masih di situ,” ucap Fattah sambil fokus menyetir.
Zara mengangguk dan membuka laci dashboard. Namun bukan hanya earphone yang ia temukan. Sebuah foto jatuh ke pangkuannya foto Fattah dan Aqeela. Terlihat jelas mereka berdua sedang tertawa, begitu dekat, begitu bahagia. Jantung Zara mencelos. Ia menelan ludah, mencoba menahan cemburu yang tiba-tiba menyeruak.
“Earphonenya ada?” tanya Fattah.
Zara mencoba tetap tenang, menunjukkan earphone yang ia temukan. “Yang ini, Fattah?”
“Nah iya, makasih ya, Zara.” Fattah menoleh dan ikut melihat isi dashboard. Matanya secara tak sengaja menangkap kembali foto dirinya dan Aqeela. Mendadak ia menarik napas dalam dan menghentikan mobil di pinggir jalan.
“Kenapa berenti Fattah?” tanya Zara, heran.
“Foto ini… masih ada aja di sini.” Fattah menatapnya dalam diam. “Aqeela lucu banget. Sampai kapan pun, dia tetap jadi bagian dari hidup aku.”
Zara hanya tersenyum tipis, menyembunyikan hatinya yang mulai perih.
“Aqeela yang pertama naik mobil ini ya?” tanya Zara pelan.
“Iya. Bahkan mobil ini dibelinya juga bareng dia. Aku pilih warna maroon karena itu warna favorit Aqeela. Sementara aku suka modelnya.”
Deg. Hati Zara seperti diremas. Aqeela memang sahabatnya. Baik, pengertian, bahkan sudah memaafkannya. Tapi siapa sangka, cinta Fattah pada Aqeela sedalam itu?
"Apa benar kata Mamah... kalau aku cuma pelariannya Fattah?" batin Zara, getir.
“Pasti Aqeela happy banget kamu pilih warna ini” ucap Zara, mencoba mengalihkan suasana.
“Happy banget. Tadinya aku nggak mau pake mobil ini lagi karena setiap nyetir, yang ada di kepala aku cuma random-nya Aqeela,” ucap Fattah sambil tertawa kecil.
Setibanya di parkiran sekolah, mobil Fattah ternyata parkir persis di sebelah mobil Harry. Tanpa mereka sadari, dua dunia lama yang dulu bertabrakan kembali bersisian pagi itu.
Di dalam mobil Harry, suasana terasa hangat namun agak kikuk. Aqeela duduk sambil memegangi dahinya yang tadi sempat terbentur saat masuk. Harry, dengan ekspresi tenang tapi penuh perhatian, menyentuh kening Aqeela perlahan.
“Masih sakit?” tanyanya lembut. “Dahi kamu merah. Nanti di kantin kita cari es batu, ya.”
Harry kemudian membukakan seatbelt Aqeela. Gerakannya cepat, halus, dan entah kenapa membuat Aqeela jadi gugup sendiri.
“Harry...” gumam Aqeela, “cewek yang kamu suka... aku kenal dia nggak?”
Wajahnya cemberut setengah manja. Dalam hati ia mengomel pada dirinya sendiri, "Ih Aqeela, kepo banget sih lo. Nanti kalau dikasih tahu terus nangis lagi, nyusahin..."
YOU ARE READING
Love In Algorithm
Teen FictionHarry Alaric Vaughan sudah terbiasa hidup dalam sunyi. Jenius di bidang teknologi, tenang, tertutup, dan terlalu dingin untuk peduli urusan orang lain. Dunia baginya hanya algoritma, kode, dan layar komputer sampai dia mendengar suara cempreng yang...
Hati yang Terprogram untukmu
Start from the beginning
