"Kadang, yang paling perlu bukan solusi... tapi seseorang yang mau duduk diam dan bilang, 'Aku di sini kalau kamu butuh'."
Malam itu terasa dingin, lebih karena suasana hati daripada cuaca. Asrama akan dibubarkan besok. Semua siswa mulai berkemas, membawa pulang bukan hanya barang-barang, tapi juga serpihan cerita yang tak selesai.
Aqeela duduk diam di kursi sudut aula, pikirannya masih kusut setelah percakapan terakhir dengan Fattah. Meski Fattah sudah berkali-kali meminta maaf, hubungan mereka masih terasa seperti langit mendung yang belum mau menurunkan hujan. Ia kembali ke kamarnya dengan langkah malas, membuka pintu pelan dan mendapati Zara sedang menangis.
Aqeela menarik napas panjang dan kasar, menahan letupan emosi yang mulai merangkak naik. Ia kesal. Cemburu. Bagi Aqeela, Zara adalah ancaman terbesar dalam hubungannya dengan Fattah. Tapi seperti biasa, Aqeela memilih menurunkan egonya.
"Lo kenapa?" tanyanya datar.
Zara menatap Aqeela dengan mata basah. "Aqeela, aku minta maaf soal di UKS. Aku nggak pernah bermaksud ada di antara kamu sama Fattah."
Aqeela hanya diam, mencoba menimbang antara harga dirinya dan rasa iba yang perlahan mulai mengetuk pintu hatinya.
"Udah mendingan sakitnya? Ada masalah lain?" tanyanya akhirnya, kali ini dengan nada sedikit lebih hangat.
Zara mengangguk pelan, matanya menatap Aqeela dalam. "Sejak bu Anita nyuruh aku hubungin Mama, aku nggak bisa kontak siapa-siapa. Mamaku sama papa tiriku tinggal di luar negeri. Aku dibawa ke asrama ini, tempat yang bener-bener asing buat aku. Orang pertama yang aku kenal ya Fattah. Dia yang bantu aku adaptasi. Aku nggak tahu kalau dia punya pacar. Maaf banget, Aqeela..."
Aqeela mendengarkan. Hatinya mulai melunak. Ia lalu duduk di samping Zara.
"Lanjut ceritanya" ucap Aqeela pelan, mencoba tersenyum meski hatinya masih perih.
Zara melanjutkan, "Asrama mau dibubarin. Aku bingung. Mau pulang ke mana? Orang tuaku nggak ada kabar, aku juga nggak punya kerabat. Aku... sendirian."
Tangis Zara pecah. Dan tanpa sadar, air mata Aqeela ikut jatuh. Ia menarik tubuh Zara ke pelukannya.
"Gue nggak tahu keadaan lo kayak gini, Zara. Makasih karena udah cerita. Gue janji bakal bantu lo. Besok gue bakal ngobrol sama Fattah, kita cari jalan keluarnya."
"Tapi aku takut ganggu kalian..."
Aqeela melepas pelukannya perlahan. "Kalau lo libatin gue juga, gue nggak keberatan. Tapi kalau lo cuma libatin Fattah, lo sama aja nggak ngehargain gue sebagai pacarnya."
Zara mengangguk cepat, memeluk Aqeela erat. "Makasih banyak, Qeel... Maaf banget kalau aku bikin kamu cemburu..."
***
Di Atap Asrama Putra
Di sisi lain, Harry duduk sendirian di rooftop asrama putra, ditemani secangkir kopi hitam dan pikiran yang lebih gelap dari malam. Dunia seolah berjalan dengan skrip yang tidak bisa dia retas. Hatinya kacau. Bukan hanya karena Aqeela, tapi juga karena rasa gagal yang tak terdefinisikan. Ia merasa kalah dari Mohan, pria yang mampu menenangkan Aqeela dengan kata-kata biasa yang tidak mengenal algoritma.
Langkah kaki mendekat. Fattah muncul, membawa secangkir kopi lain.
"Her" sapa Fattah.
"Hm.." jawab Harry pendek.
"Lo suka kan sama Zara?"
Harry diam. Tatapannya masih menembus langit gelap.
"Gue cuma mau bilang... dia lemah. Kalau lo bisa, jagain dia. Kasihan dia, Her" ujar Fattah pelan.
YOU ARE READING
Love In Algorithm
Teen FictionHarry Alaric Vaughan sudah terbiasa hidup dalam sunyi. Jenius di bidang teknologi, tenang, tertutup, dan terlalu dingin untuk peduli urusan orang lain. Dunia baginya hanya algoritma, kode, dan layar komputer sampai dia mendengar suara cempreng yang...
