Unknown Number

1.8K 118 16
                                        

"Sinar sejati tak butuh panggung, ia bersinar diam-diam dalam ketulusan."

Sebuah BMW hitam melaju mulus di tengah malam yang sunyi, menembus jalan rahasia menuju sebuah tempat yang tak banyak diketahui orang. Di balik pepohonan tinggi dan gerbang besi yang tersembunyi, berdiri sebuah rumah megah nyaris seperti istana. Namun, ini bukan istana dongeng. Ini markas The Council, organisasi mafia paling misterius dan ditakuti di berbagai sudut para pembisnis.

Begitu mobil Harry berhenti di depan pintu gerbang utama, dua penjaga berseragam hitam lengkap dengan kacamata gelap langsung mendekat. Mereka berdiri sigap, menghalangi langkah Harry.

“Sampai di sini saja, Tuan. Kecuali Anda punya..”

Sebelum kalimat itu selesai, ponsel salah satu penjaga berdering. Ia menerima panggilan, berbicara singkat, dan... langsung mengangguk.

“Silakan masuk, Tuan Vaughan.”

Tanpa bertanya lebih lanjut, Harry melangkah masuk. Ia sudah hafal jalannya. Ini bukan pertama kalinya ia berada di tempat ini. Lorong demi lorong ia susuri dengan langkah pasti. Dinding rumah itu dihiasi patung-patung mahal, karpet tebal, dan lampu kristal yang tergantung di langit-langit tinggi.

Tak lama, ia berhenti di depan sebuah pintu tanpa tanda. Sebuah panel pemindai wajah menyala. Setelah memindai wajah Harry, pintu terbuka otomatis mengungkap lorong menuju ruangan bawah tanah yang tersembunyi di balik istana mewah itu.

Inilah markas utama The Council. Dan lebih dari itu, markas keluarga Avelino.

Sistem keamanan mereka sangat canggih nyaris menandingi sistem buatan Harry sendiri. Bahkan, Harry pun mengakui mereka tak bisa diremehkan. Ia tak ingin kembali ke sini. Tapi ia datang demi satu alasan menyelamatkan keluarga Calestia.

“Selamat datang, Tuan Vaughan... hahahaha!”

Suara tawa licik menyambutnya. Seorang pria paruh baya dengan jas formal berdiri di ujung ruangan. Auranya dingin, tatapannya tajam, dan senyum di wajahnya terlalu tipis untuk disebut ramah.

Harry tidak menjawab. Ia hanya berjalan diam, duduk di kursi yang disediakan.

“Apa yang membawamu kembali ke sini? Tertarik bekerja sama dengan kami, mungkin?” tanya pria itu sambil menyilakan duduk.

Namun perhatian Harry langsung teralihkan saat layar monitor besar menyala di hadapannya. Wajah seseorang muncul di layar itu.

“Dia...?” gumam Harry, wajahnya langsung berubah cemas.

“Ah, dia. Arya Mohan Avelino. Pewaris tunggal keluarga kami” jawab si pria santai. “Anak itu kabur, menolak menandatangani hak warisnya, bahkan tak sudi menyentuh bisnis ini. Menjijikkan sekali sikapnya. Sombong.”

Harry menatap layar lekat-lekat. Wajah Mohan yang dikenalnya selama ini ternyata bukan sekadar remaja biasa.

Ini bahaya... batin Harry. Bahaya untuk Aqeela. Mereka akan lakukan apa pun demi memaksa Mohan kembali. Termasuk menyakiti orang-orang yang dekat dengan mohan.

Harry menarik napas panjang, lalu menatap pria itu dengan sorot tegas.

“Kembalikan salah satu anggota keluarga Calestia. Atau kau tahu sendiri apa yang bisa saya lakukan.”

Pria itu tertawa kecil, lalu mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja.

“Kita sama-sama tahu betapa kuatnya sistem yang kita miliki, Mr. HAV. Tapi bahkan kami tak bisa menyangkal, kau berada satu tangga di atas kami. Sayangnya, membunuh kami... sama saja membunuh diri anda sendir.”

Love In AlgorithmWhere stories live. Discover now