"Kadang cinta tak datang dengan kata-kata, tapi menyusup perlahan lewat tawa sederhana, tatapan diam, dan langkah kaki yang tak ingin pulang."
Usai senja turun dan malam merambat, tepat pukul delapan malam, Aqeela pulang dari teras kafe bersama Mohan. Mereka berjalan berdua menyusuri trotoar sunyi, dengan lampu jalan yang sesekali memantulkan bayang mereka ke aspal. Tak ada yang mereka bicarakan, namun keheningan itu terasa nyaman. Sesampainya di rumah, Aqeela melanjutkan sesi belajar malamnya dipandu langsung oleh Mohan di ruang santai yang penuh dengan buku dan aroma kayu manis dari diffuser tante Rita.
Malam itu mereka belajar sejarah. Tapi ada yang berbeda.
Mohan bercerita panjang tentang Taj Mahal. Tangannya bergerak perlahan, wajahnya tak sekadar menjelaskan, melainkan menyelami kisah cinta legendaris itu seakan ia pernah berada di sana. Tatapannya kosong namun penuh makna.
“Taj Mahal bukan cuma soal marmer putih dan kemegahan, Qeel...” jelas mohan.
“Tapi tentang duka yang dibungkam jadi keabadian.Mumtaz meninggal waktu melahirkan anak ke-14-nya. Di tengah darah dan tangis, Shah Jahan nggak cuma kehilangan istri... tapi separuh jiwanya.”lanjutnya..
“Dan setelah itu?” tanya Aqeela pelan ikut haru mendengarkan kisah sedih tajmahal.
“Setelah itu, bukan cuma cinta yang diuji. Anak-anaknya saling berebut takhta. Bahkan Shah Jahan dikurung di benteng sama anaknya sendiri, cuma bisa menatap Taj Mahal dari kejauhan, setiap hari... sampai ia mati.”
Nada suara Mohan pelan. Aqeela memperhatikannya, sedikit heran, karena wajah Mohan tampak sendu. Ia seperti sedang menceritakan luka yang ia simpan dalam dirinya sendiri luka yang belum pernah ia bagi.
Namun, Aqeela hanya mengangguk polos. Ia tidak menangkap kode apa pun. Yang ia tahu, Mohan adalah guru les privat yang sabar untuk aqeela, teman bicara yang menyenangkan... dan belakangan ini, mohan yang mulai mengisi hati Aqeela tanpa ia sadari.
Flashback on
Waktu itu, setelah insiden dengan Fattah dan Jaya, Mohan menenangkannya.
“City girl, Fattah sama Zara keren sih bisa minta maaf sama lo, ngakuin salah mereka...”
Aqeela terdiam. Biasanya, kata “keren” cuma Mohan ucapkan untuknya. Tapi kini?
“Zara keren juga, Moh?” tanyanya dengan nada lemah, bibir manyun, ekspresi cemburu.
Mohan tertawa renyah. “Gua belum selesai ngomong, aelah. Iya, mereka keren. Tapi yang lebih keren dan patut diapresiasi tuh lo. Karena lo bisa maafin mereka. Hati lo gede banget, Qeel. Lapang.”
Aqeela tersenyum malu. “Iya dong... hati gua itu seluas Samudera Hindia dan Pasifik digabung!”
Mereka tertawa bersama. Suara mereka menyatu dalam malam yang tenang. Dan di antara tawa itu, ada cinta yang perlahan bermekaran.
Flashback off
Waktu berlalu tanpa terasa. Mohan melirik jam dinding. Pukul 21.30.
“City girl, udah malem... Besok masih banyak yang harus kita lakuin. Simpen energi lo, ya.”
Ia tersenyum. Tapi pikirannya jauh lebih gelap dari yang tampak. Banyak hal yang ingin ia ceritakan. Tentang siapa dirinya sebenarnya. Tentang kehidupan menakutkan yang harus ia jalani diam-diam. Tapi ia memilih diam. Karena Aqeela terlihat bahagia. Dan Mohan tak ingin merusaknya.
Di sisi lain, Aqeela merasa... ini kali pertama ia merasakan hal seperti ini setelah life after break up dengan Fattah. Hatinya hangat, seperti ada kupu-kupu menari di perutnya.
YOU ARE READING
Love In Algorithm
Teen FictionHarry Alaric Vaughan sudah terbiasa hidup dalam sunyi. Jenius di bidang teknologi, tenang, tertutup, dan terlalu dingin untuk peduli urusan orang lain. Dunia baginya hanya algoritma, kode, dan layar komputer sampai dia mendengar suara cempreng yang...
