Kata yang Tak Pernah Tuntas

1.7K 82 5
                                        

"Kadang, luka paling dalam bukan berasal dari kehilangan melainkan dari orang yang tak pernah benar-benar melihat kita terluka."

Jam menunjukkan pukul sebelas siang. Matahari menggantung terik di langit, menyiramkan cahaya menyilaukan ke jalanan kota. Setelah percakapan panjang yang penuh analogi dan keheningan bermakna bersama Yuka di tempat tenang itu, Harry dan Yuka kembali ke teras kafe. Tak lama kemudian, Harry bergegas pulang. Ada dua misi yang kini menyita pikirannya, menyelidiki siapa Mohan sebenarnya apakah dia aman untuk Aqeela dan yang lebih penting, mengungkap luka lama yang tersembunyi di balik senyum Aqeela.

Sesampainya di rumah, bangunan megah yang berdiri di atas lahan sunyi itu masih memancarkan aura misterius.  rumah itu tidak seperti rumah biasa lebih menyerupai markas rahasia dengan denyut digital yang konstan. Di balik kemewahan, tersembunyi satu dunia kelam penuh kode dan algoritma.

Di depan pintu masuk, seorang pria tinggi berjas hitam dan berkacamata gelap menyambutnya. Postur tubuhnya tegap, penuh wibawa sosok asisten pribadi Harry yang setia.

“Selamat siang, Tuan Vaughan” sapanya singkat.

Harry hanya mengangguk kecil. Meski secara status ia masih siswa SMA kelas 3, namun usia biologisnya telah mendekati 21 tahun buah dari masa penahanan dan pengasingan yang membuatnya harus mengulang pendidikan. Tapi usia tak pernah menumpulkan tajamnya nalar. Bahkan sebaliknya, luka membuatnya lebih peka dari kebanyakan manusia.

“ada yang penting?” tanyanya.

“Ada panggilan masuk dari keluarga Calestia, Tuan. Mereka ingin menggunakan jasa Anda kembali, setelah mendengar kabar bahwa Anda telah kembali ke… dunia ini.”

Harry terdiam sejenak. Dunia ini. Dunia gelap yang pernah ia tinggalkan, dunia yang menantang logika dan memancing emosi.

“Untuk apa? Pengamanan sistem perusahaan?” tanyanya sambil membuka sarung tangan kulitnya.

“Mereka tidak menjelaskan secara rinci. Hanya mengatakan ingin berkomunikasi langsung dengan Anda,” jelas sang asisten.

Tanpa banyak bicara, Harry segera menuju ruangan kerjanya atau lebih tepatnya, laboratorium rahasia yang tersembunyi di balik perpustakaan pribadi. Ia menekan tombol tersembunyi di sisi rak, dan seketika dinding bergeser membuka jalan ke dalam ruang penuh layar monitor, tower komputer canggih, kabel bersilang, dan pencahayaan redup kebiruan.

Di ruangan itu, dunia bekerja dengan bahasa berbeda. Bahasa angka, algoritma, dan kode tak terbaca oleh manusia awam.

Harry mengenakan headphone hitam dengan mikrofon melingkar ke depan, serta kacamata Wayfarer anti-radiasi untuk menjaga matanya tetap jernih dalam lautan kode.

Incoming call: Calestia Group.

Di layar, muncul wajah pria paruh baya bersama seorang wanita anggun ayah dan ibu Aqeela. Mereka tersenyum kikuk, seolah tertekan oleh rasa bersalah yang disimpan terlalu lama.

“Selamat siang, Mr. HAV. Senang bisa berkomunikasi kembali. Bagaimana kabar Anda?” sapa sang ayah.

“Saya baik, Tuan dan Nyonya Calestia,” jawab Harry sopan. “Langsung ke intinya saja.”

“Kami… ingin meminta bantuan Anda. Putra kedua kami, Viran, hilang sejak dua tahun lalu. Kami tahu siapa penculiknya, tapi… mereka hanya bersedia berkomunikasi jika kami menyetujui kesepakatan mereka kesepakatan yang bisa menghancurkan integritas perusahaan kami. Meskipun mereka mengabari Viran aman tapi kami begitu sangat khawatir dan merindukannya ingin dia kembali. Kami butuh Anda, Mr. HaV. Hanya Anda yang bisa menembus sistem mereka.”

Love In AlgorithmWhere stories live. Discover now