Suara yang Tak Asing

7.6K 337 1
                                        

"Dalam dunia yang penuh sandi dan enkripsi, suaranya adalah satu-satunya hal yang tak pernah bisa kusilent."

Pada usia delapan tahun, Harry Alaric Vaughan bukanlah anak biasa. Ketika anak-anak lain sibuk bermain mobil-mobilan, ia justru membongkar ulang komputer milik ayahnya. Pikirannya terusik oleh rasa ingin tahu tentang bagaimana sebuah jaringan bisa ditembus dari balik layar biru yang membingungkan.

Siang itu panas. Harry duduk sendirian di bangku taman sekolah internasional tempat ia belajar, menunggu sopirnya menjemput. Tangannya memegang tablet, tapi perhatiannya buyar saat mendengar keributan dari kejauhan.

Sekelompok anak laki-laki tampak mengerubungi seorang gadis mungil berkuncir dua. Kacamatanya nyaris sebesar wajahnya, tubuhnya kecil. Tapi... suaranya cempreng, lantang, dan penuh percaya diri.

“Lo pikir lo jago karena ramean?! Biar gue kecil, tapi gue gak takut! Ngomong sama lo tuh kayak debat sama Wi-Fi lemot, bikin emosi tapi gak nyambung! NO NO, AH AH!”

Harry spontan melepas earphone-nya.

Dia tertegun. Ada sesuatu yang berbeda dari gadis itu. Bukan hanya suaranya yang nyaring, tapi keberaniannya. Ekspresinya liar, gerakannya dramatis. Dia... absurd, tapi juga lucu.

Harry bersandar di bangku, mengamati dari kejauhan. Jantungnya berdetak tak karuan.

"Kalau Batgirl beneran ada di dunia nyata... mungkin dia kayak gini."

Dan dia tersenyum.

"Dan kalau Batgirl butuh Robin... mungkin gue bisa jadi Robinnya."

Ia belum tahu nama gadis itu. Tapi sejak hari itu, dalam diam, ia sudah menjadikannya sebagai Batgirl-nya.

***
Waktu berjalan. Harry tumbuh menjadi remaja jenius di dunia yang hanya sedikit orang bisa mengakses: dunia perhackeran. Dia tenang, tajam, dan sulit ditebak. Identitas aslinya hanya diketahui oleh segelintir orang dari kalangan atas.

Tapi di balik semua prestasi itu, satu hal yang tak pernah ia lupakan adalah sosok gadis kecil berkuncir dua dengan suara cempreng yang menggelegar itu. Aqeela.

Dan takdir mempertemukan mereka kembali.

Hari itu, usia Harry 16 tahun. Ia baru keluar dari lab komputer favoritnya saat mendengar keributan di koridor.

“Ada apa, ha? Kenapa lo berani ganggu dia?! NO NO, AH AH!”

Harry menoleh refleks. Suara itu...

Suaranya.

Suaranya yang tidak pernah asing di telinganya.

Dan di sana, berdiri gadis SMP dengan gaya absurd dan tatapan galak, berhadapan dengan geng populer.

Aqeela.

Harry diam. Senyum tipis terbentuk di bibirnya. Dunia seolah terdiam.

Dan malamnya, sesuatu yang tak pernah ia bayangkan terjadi. Ia diundang ke rumah Aqeela untuk makan malam, sebagai bentuk penghormatan dari klien eksklusif ayahnya.

Ia datang dengan mobil BMW hitam, mengenakan hoodie gelap yang menutupi sebagian wajahnya. Aura misterius menyelimuti langkahnya saat memasuki rumah mewah itu.

Namun, suasana formal langsung buyar ketika Aqeela yang kini berusia 13 tahun tiba-tiba melotot dan berteriak dari tangga.

“NO NO AH AH! Itu stiker chibi hacker-ku hilang!!!”

Tanpa basa-basi, ia menghentakkan kaki dan membanting pintu kamar.

Harry mematung. Lalu tertawa kecil.

"Masih sama... Masih Batgirl-nya gue."

Ayah dan ibu Aqeela hanya bisa tersenyum kaku.

Maaf... Dia memang begitu. Emosinya agak sulit dikendalikan, masih dalam penanganan psikiater...” ujar ibunya dengan hati-hati.

Harry hanya mengangguk, menatap ke arah tangga dengan senyum tenang.

“Saya tahu. Saya kenal suaranya. Saya suka cara bicaranya.”

Kalimat itu sukses membuat kedua orang tua Aqeela saling melirik.

“Maaf, dia masih 13 tahun. Belum boleh pacaran...”

Harry tertawa pelan.

“Tenang... Saya tahu batasannya. Saya cuma ingin mengenalnya. Mungkin... setelah dia sedikit lebih dewasa.”

Malam itu berakhir dengan penuh rasa aneh di hati Harry. Ada sesuatu dalam dirinya yang berubah. Sesuatu yang tak bisa ia debug, bahkan dengan ribuan baris kode.

Aqeela bukan sekadar masa lalu yang lucu. Dia adalah seseorang yang diam-diam berhasil menanamkan virus ke dalam sistem perasaannya.

Dan sistem itu kini mulai buffering.

“Ah, shit,”
gumam Harry, menatap langit-langit kamar.
“I’m blushing.”

Love In AlgorithmWhere stories live. Discover now