Harry menahan amarahnya. Ia tahu, bermain di sini adalah permainan licik. Tapi ia punya senjata rahasia.

“Bukankah saya masih punya dua kartu permintaan? Perjanjian kita dulu, ketika kalian membuat saya dijebloskan ke hukum internasional. Kalian sepakat membayarnya dengan tiga permintaan, dan saya baru menggunakan satu. Ketika saya meminta agar kalian tidak mencoba mengusik dan memaksa saya untuk bekerja sama dengan kalian”

Pria itu terdiam sejenak, lalu tersenyum miring. “Aku ingat. Dua permintaan. Dan setelah itu, tidak ada lagi.”

“Pertama” kata Harry pelan tapi tegas. “Kembalikan salah satu anggota keluarga Calestia. Kedua, jangan pernah ganggu siapa pun yang terhubung dengan saya dan keluarga Calestia.”

Pria itu mengangguk pelan. “Baiklah. Dua hari lagi, anak itu akan kembali ke keluarganya.”

Harry mencondongkan tubuhnya. “Di mana dia sekarang?”

Tanpa menjawab, pria itu menekan sebuah tombol. Proyektor menyala, menampilkan rekaman CCTV dari sebuah kamar mewah. Di atas tempat tidur, duduk seorang anak laki-laki. Lututnya ia peluk erat. Wajahnya muram.

“Viran...” bisik Harry.

Kemudian, seorang gadis cantik masuk ke dalam ruangan. Penampilannya unik outfit bohemian dengan sentuhan mistik modern. Ia membawa sepiring makanan, lalu duduk di sisi anak itu.

“Viran... ayo makan. Kalau Viran nggak mau makan, Kak Yuka nggak mau jadi temen Viran lagi” ucap gadis itu lembut.

Viran menatapnya dengan mata basah. “Aku mau ketemu Kak Reva... Sampe kapan Viran di kamar ini, Kak Yuka?”

Yuka memeluk anak itu erat. Penuh kasih. Di tengah kejamnya The Council, Yuka tampak seperti satu-satunya cahaya bagi anak malang itu.

Harry menghela napas dalam. Ia berdiri, lalu meninggalkan ruangan tanpa sepatah kata pun.

Jadi begitu... Mohan adalah pewaris Avelino. Dan Yuka... Yuka adalah bagian dari The Council.

Dia memang punya sisi baik. Tapi sebaik-baiknya mereka... mereka tetap iblis. Gila harta. Gila kuasa. Dan mereka tega menyiksa manusia demi ambisinya.

Langit malam itu tampak tenang. Tapi tidak dengan hati Harry.

Di balik kemudi mobil BMW hitamnya, tatapan Harry berubah tajam. Kedua matanya nyaris menyala marah saat menangkap sosok dua sejoli yang tengah berboncengan di pinggir jalan. Mohan dan… Raisa.

Harry menghentakkan tangannya ke setir dengan emosi meluap.

"Brengsek! Kenapa setiap kali gue kasih kesempatan buat kalian bahagiain Aqeela, kalian malah main belakang! Fattah… Mohan… Kalian sama aja!"

Pikirannya langsung bercabang. Sebelumnya, ia yakin kedekatan Aqeela dengan Mohan bisa menjadi tameng agar The Council tak lagi menyentuhnya. Tapi kalau Mohan malah diam-diam bersama Raisa, situasinya justru bisa jadi bom waktu.

Sesampainya di rumah, Harry tak berkata apa pun. Dengan langkah cepat, ia naik ke rooftop rumah mewahnya. Langit malam memamerkan gugusan bintang yang tenang, angin sejuk berembus lembut. Tapi ketenangan itu hanya di luar. Di dalam, pikirannya penuh kekacauan.

Secangkir kopi menemani MacBook yang kini terbuka di hadapannya. Jemari Harry menari cepat di atas keyboard. Wajahnya tenang, tapi sorot matanya dingin penuh perhitungan.

“Kalau hari itu datang… hari di mana Aqeela patah hati lagi… gue gak bakal tinggal diam,” gumamnya lirih, namun penuh tekad. “Kali ini, dia gak akan terlalu jatuh. Karena gue udah siap.”

Dengan beberapa baris kode dan sistem bypass yang hanya ia sendiri mengerti, Harry berhasil menciptakan satu hal: sebuah nomor misterius.

Tanpa nama. Tanpa asal. Tak terlacak siapa pun.

Love In AlgorithmWhere stories live. Discover now