Kata yang Tak Pernah Tuntas

Start from the beginning
                                        

Raisa menahan air matanya, tapi ia gagal. Setetes jatuh, lalu lainnya menyusul.

"Apa salah aku pengen jadi manusia, Sa?" ucap Mohan, suaranya pecah.

Raisa menggeleng cepat. Tangannya menggenggam tangan Mohan lebih erat, matanya menatapnya seolah dunia hanya berisi mereka berdua.

“No. You and me against the world.”
Ia menghela napas. “Aku akan temenin kamu laluin ini semua... Tapi kamu harus jauhin Aqeela. Kasihan dia, Moh. Dia nggak kuat dunia kayak gini. Kamu tahu itu. Jangan tarik dia ke jurang kamu. Jangan libatin dia.”

Suara Raisa lembut, penuh empati namun sorot matanya menyimpan sesuatu yang lebih. Mungkin tulus. Mungkin juga tak sepenuhnya.

Dan malam itu, dua orang yang pernah mencintai, kini menjadi dua jiwa yang sama-sama terluka mencari cahaya dalam reruntuhan. Untuk pertama kalinya, Mohan tak menyimpan gelap itu sendirian. Tapi entah, apakah ia benar-benar membaginya… atau hanya memindahkannya ke pelukan yang berbeda.

Flash back off

Malam itu di rumah keluarga Celestia...

Setelah seharian berjalan-jalan bersama Mohan, Aqeela tertidur dengan senyuman mengembang di wajahnya. Hatinya hangat untuk pertama kalinya sejak sekian lama, ia merasa bahagia. Dicintai orang yang dia cinta.

Namun, bukannya mimpi indah, malam itu membawanya ke dalam kegelapan yang tak dikenalnya.

Sebuah lorong panjang terbentang di hadapannya dingin, megah, tapi menyesakkan. Lampu-lampu kristal menggantung di langit-langit, berkilau seperti mimpi… atau mimpi buruk. Langkah Aqeela bergema pelan, membawanya pada sebuah pintu besar berwarna emas.

Lalu suara itu terdengar.

“Kak Revaaa!”

Teriakan lirih namun penuh ketakutan. Suara yang ia kenal betul.

“Ka Reva… tolong Viran… Viran takut...”

Aqeela terkejut. Matanya membelalak saat melihat Viran, adiknya dikurung dalam sebuah kamar mewah, wajahnya basah oleh air mata, tangannya meraih-raih ke arahnya dari balik kaca tebal yang membatasi mereka.

“Viran! Kakak di sini!” Aqeela menghampiri, berlari panik. Tapi jarak di antara mereka seakan tak pernah menyempit. Semakin ia berlari, semakin jauh Viran terasa.

Dan saat itulah seseorang muncul.

Sosok tinggi berjubah hitam, wajahnya tertutup topeng putih tanpa ekspresi. Ia berdiri di antara Aqeela dan Viran. Diam. Menatap. Menghalangi.

“MENJAUH DARI VIRAN!” teriak Aqeela.

Emosinya meledak. Segalanya mulai kabur. Napasnya memburu. Dia menjerit, menendang, menerjang sosok itu, tapi tak bisa menyentuhnya.

Kemarahan Aqeela pecah seperti badai. Dunia di sekelilingnya bergetar, suara denting kaca pecah bersahut-sahutan, dan di tengah kehancuran itu…

Dia terbangun.

“MAMAAAA! PAPAAA! TANTEEEEE!!! AAAAAAAAA!!!”

Teriakannya menggetarkan malam. Aqeela terduduk di ranjang, tubuhnya gemetar hebat. Keringat membasahi seluruh tubuh. Matanya liar. Nafasnya tercekat. Tangannya menjambak rambutnya sendiri tanpa sadar, berusaha melepaskan rasa panik yang mencengkram dadanya.

Tante Rita berlari masuk, wajahnya panik namun tetap tenang.

“Sayang! Sayang, hey! Tenang… Tante di sini.”

Ia memeluk Aqeela erat, berusaha menghentikan tangannya yang mulai mencakar kulit sendiri. Aqeela meronta, terisak histeris, matanya merah.

“Viran, Tante… Viran… aku lihat dia! Dia manggil aku! Dia… takut banget!”

Tante Rita tak berkata-kata. Ia hanya menguatkan pelukannya, membiarkan tubuh Aqeela menggigil hebat di dalam dekapannya.

“Aku terlalu bahagia, Tante… aku sampai lupa kalau Viran belum pulang… aku egois banget, Tante…”

Tangisnya pecah, membanjiri seluruh kamar. Tante Rita menatapnya dengan mata berkaca-kaca.

Dia tahu… trauma kehilangan Viran masih mencengkram hati Aqeela. Borderline Personality Disorder yang dideritanya membuat semua emosi membuncah tanpa kendali terutama saat menyentuh luka yang paling dalam.

Setelah hampir setengah jam menenangkan, akhirnya Aqeela mulai tenang. Nafasnya mulai teratur. Matanya setengah sayu, tubuhnya lemas.

Tante Rita mencium keningnya. “Kamu nggak egois, sayang. Kamu cuma terlalu sayang sama dia. Tapi kamu juga harus sayangin dirimu sendiri…”

Ia keluar perlahan, meninggalkan Aqeela yang mulai terlelap kembali.

Tapi sebelum matanya benar-benar tertutup...

TING.

Layar ponselnya menyala di meja.

Satu pesan masuk.

Dari “Unknown Number.”

Love In AlgorithmWhere stories live. Discover now