Diam sebentar. Raisa lalu bertanya, “Aku tahu kamu punya PTSD. Tapi aku gak pernah tahu kenapa. Bisa ceritain?”
Mohan menatapnya lekat. Raisa, meski bukan miliknya lagi, tetap jadi satu-satunya tempat ia bisa membuka luka. Maka malam itu, dengan suara serak dan hati terbuka, Mohan mulai bercerita.
Malam itu terlalu sunyi untuk dua orang yang menyimpan terlalu banyak suara di kepala mereka.
Detak jam tua menggema seperti gema kenangan, menegaskan bahwa waktu memang berjalan… tapi tak pernah benar-benar menyembuhkan.
Mohan duduk bersandar pada dinding dingin, lututnya terlipat, mata tertuju ke kegelapan langit-langit. Raisa di sampingnya, diam. Menunggu, tanpa paksa. Hanya hadir.
“Aku belum pernah cerita ini ke siapa-siapa, aku takut sa” ucap Mohan lirih, seperti seseorang yang sedang menyerahkan kunci ke lemari paling gelap dalam hidupnya. “Tapi kamu harus tahu, Sa… siapa aku sebenarnya.”
Ia menarik napas panjang, dan dengan helaan itu, ia mulai merobek lapisan-lapisan sunyi yang selama ini melindunginya.
“Aku anak tunggal keluarga Avelino. Keluarga paling berkuasa di Asia. Dari luar, mereka tampak elegan tapi sesungguhnya, mereka dibangun dari jaringan uang haram dan darah orang-orang tak berdosa. Ibu aku meninggal pas lahirin aku. Ayah aku nyusul beberapa tahun kemudian. Meninggal... karena terlalu cinta dan terlalu lelah hidup dalam sistem yang dia ciptakan sendiri.”
Ia tertawa kecil, hambar dan getir.
“Saat aku tujuh belas tahun, aku resmi jadi pewaris tunggal. Harta, perusahaan, koneksi politik, bahkan kendali atas dunia gelap. Tapi ternyata itu bukan anugerah. Itu racun.”
Ia menunduk.
“Keluarga aku... mereka nggak sabar nunggu aku tanda tangan. Jadi mereka jebak aku. Kirim aku ke neraka dunia. Penjara Putih.”
Raisa perlahan menoleh. “Penjara... Putih?”
Mohan hanya mengangguk. “Tempat itu bukan untuk tahanan kriminal. Tapi untuk menghancurkan orang. Secara psikologis. Ruang isolasi, siksaan suara, eksperimen mental... Aku dijadikan kelinci percobaan. Mereka ingin aku lupa bahwa aku Arya Mohan Avelino. Supaya waktu mereka serahkan surat warisan, aku tanda tangan. Tanpa perlawanan.”
Ia mengusap wajahnya yang lelah. “Tiga bulan di sana. Tapi rasanya seperti seumur hidup setiap hari. Aku hampir hilang. Sampai akhirnya... aku kabur. Dibantu seseorang. Seorang mantan dokter di sana. Namanya Eira.”
Ada jeda. Nama itu mengambang di antara mereka, penuh makna yang tak dijelaskan.
“Sejak itu, aku buron. Dikejar bukan oleh negara. Tapi oleh darah daging aku sendiri keluarga aku yang haus harta. Mereka punya organisasi The Council. Merekalah bayangan di balik semua wajah ramah itu. Aku nggak pernah bisa benar-benar aman. Di mana pun. Kapan pun. Mereka mulai ngelacak aku lagi sa ”
Raisa perlahan menggenggam tangan Mohan, namun ia tak melihatnya.
“Aku bisa kembali. Tanda tangan. Hidup enak. Tapi... itu artinya aku mati sebagai manusia. Aku nggak mau. Aku lebih pilih hidup gapunya apa apa, daripada jadi boneka yang cuma warisi dosa.”
Keheningan menggantung, lalu Mohan berbisik
“Kamu tahu kenapa aku nggak pernah bisa sepenuhnya lepas dari kamu, Sa?”
Ia menatapnya, matanya sayu, tapi jujur.
“Karena kamu satu-satunya orang yang bikin aku ngerasa... jadi manusia. Bukan pewaris. Bukan target. Bukan trauma berjalan. Tapi cuma Mohan. Dan maaf soal Aqeela, emang Aqeela warna baru di hidup aku tapi dia ga akan aman sa kalo sama Aku”
ŞİMDİ OKUDUĞUN
Love In Algorithm
Genç KurguHarry Alaric Vaughan sudah terbiasa hidup dalam sunyi. Jenius di bidang teknologi, tenang, tertutup, dan terlalu dingin untuk peduli urusan orang lain. Dunia baginya hanya algoritma, kode, dan layar komputer sampai dia mendengar suara cempreng yang...
Kata yang Tak Pernah Tuntas
En başından başla
