Kata yang Tak Pernah Tuntas

Start from the beginning
                                        

Langit mulai gelap. Mereka meninggalkan taman, menyusuri jalanan di atas motor tua milik Mohan. Aqeela memeluknya erat dari belakang, pipinya bersandar di punggung Mohan. Ia bahagia, merasa utuh karena cintanya berbalas.

Tapi Mohan... tatapannya kosong, penuh penyesalan.

"Kayaknya gua salah... udah bawa ini terlalu jauh. Gua bikin Aqeela jatuh cinta sama gua. Cepat atau lambat, gua bakal ngelukain dia. Dan Aqeela nggak aman sama gua. Dia nggak bakal kuat hadapin sisi lain dari diri gua, apalagi dengan BPD yang dia punya. Maaf, Qeel..."

Dalam hatinya, Mohan bergumam. Tak bersuara, tapi penuh luka.

"Dan Raisa... gua masih butuh dia. Gua masih butuh Raisa, Qeel..."

Flashback On

Malam itu, Mohan baru saja pulang dari rumah Aqeela. Ia baru menceritakan kisah Taj Mahal sebuah cerita cinta yang tragis, yang entah mengapa terasa begitu dekat dengan kenyataan hidupnya. Senyumnya masih mengembang saat melangkah pergi, tapi itu cuma topeng. Ada kesedihan yang tak bisa disembunyikan di balik matanya.

Saat keluar dari gerbang besar rumah Aqeela, langkahnya terhenti. Sosok samar di kejauhan memicu sesuatu dalam kepalanya. Dadanya mendadak sesak. PTSD-nya kambuh.

Setibanya di ruko tempat tinggal barunya setelah berpisah dari Pak Rudi Mohan kehilangan kendali. Tubuhnya bergetar hebat. Kenangan akan “panti” yang dulu ia kira sebagai rumah perlindungan kembali membanjiri pikirannya. Tapi itu bukan panti asuhan. Itu tempat rehabilitasi. Penjara putih. Di sanalah jiwanya hancur.

Panik menyerang bertubi-tubi. Ia menghantam benda-benda di sekitarnya. Gelas pecah, darah mengalir dari tangannya. Nafasnya memburu. Ia tahu ia butuh bantuan. Dan satu-satunya yang bisa menenangkannya saat seperti ini… hanya Raisa.

Dengan tangan gemetar, ia menelpon mantan kekasihnya. Raisa. Suaranya dulu selalu jadi jangkar, menyelamatkannya dari tenggelam dalam lautan panik. “Breath, baby... breath” kata-kata itu masih terekam jelas di benaknya.

Beberapa menit kemudian, Raisa tiba. Ia berlari masuk dan langsung menemukan Mohan di sudut ruangan, menggigil dan terisak.

Mohan menatapnya dengan mata kosong. Air mata mengalir. “Help me, Sa…”

Raisa memeluknya erat. “i'm here for you”

Tak banyak tanya. Ia membersihkan luka di tangan Mohan, lalu memeluknya lebih erat lagi. Mohan meremas bajunya, tubuhnya bergetar hebat. “Help me… please…”

“Breath” ucap Raisa datar namun tegas.

“I hate you” katanya pelan, entah ditujukan pada Mohan, pada dirinya sendiri, atau pada kenyataan. Raisa tahu, ia membenci kenyataan bahwa Mohan mencintai Aqeela... tapi selalu membutuhkannya saat seperti ini.

Pelan-pelan, Mohan mulai stabil. Setelah beberapa saat, ia duduk bersandar di dinding, bersisian dengan Raisa.

“Aqeela tahu kamu kayak gini?” tanya Raisa.

Mohan menggeleng pelan. “Nggak boleh. Dia nggak akan sanggup lihat aku seperti ini. Dia punya kontrol emosi yang buruk, Sa. Bisa aja ikut ke-trigger. Aku sayang dia… tapi aku gak mau nyeret dia ke sisi tergelap aku.”

Raisa menarik napas panjang. “Kalau dia benar-benar cinta, harusnya dia bisa nerima kamu, Moh.”

“Gak semudah itu” gumam Mohan lirih.

Raisa tak membantah. Ia berdiri, mengambilkan air minum, lalu kembali duduk di sampingnya. “Udah lebih tenang?”

Mohan mengangguk. “Makasih…”

Love In AlgorithmWhere stories live. Discover now