“Halo?” sahut Mohan.
“Gue Catalina” jawab seorang wanita dari seberang. Suaranya lembut tapi terdengar penuh maksud. Aqeela langsung memasang radar kewaspadaan.
Catalina. Salah satu owner Teras Kafe. Dan, ya... dia memang pernah terang-terangan tertarik sama Mohan.
“Ada apa?” tanya Mohan, datar.
“Gue cuma mau nawarin lo kerja part time. Gue liat lo tuh cocok sama kerjaanya . Kemarin gue diam-diam foto lo, dan manajer gue suka sama look lo tinggi, keren, rupawan...”
Mohan terdiam sejenak. Matanya mengerut. Ia memang butuh pekerjaan. Setelah keluar dari asrama, dia tak punya siapa-siapa. Hidupnya bergantung pada belas kasih Pa Rudi. Ia anak panti yang sudah terlalu lelah merasa ditinggalkan.
“Kerjaan apa?” tanyanya.
“Model. Gajinya lima puluh juta buat take pertama.”
Mohan tidak banyak pikir.
“Oke” jawabnya singkat.
Aqeela yang mendengar sepotong percakapan itu langsung curiga.
“Kok suara cewek sih? Siapa, Moh?” tanyanya, napas mulai tersengal. Ekspresi Aqeela berubah cepat. Dia tidak suka jika kebahagiaannya terancam.
“Catalina. Dia nawarin kerjaan jadi model,” jawab Mohan tenang.
“CATALINA?! Nawar kerjaan?! Modus, Mohan, MODUS. Dia tuh pengen deketin lo! Emang gak ada kerjaan lain apa, hah?!”
Suara Aqeela meninggi. Emosinya meledak. BPD-nya akan mengambil alih. Ia tak pandai menyembunyikan kekesalan. Apalagi kalau soal cinta.
“gua butuh, Qeel. Terserah lo setuju atau nggak. Gua bakal ambil kerjaan itu. Lagian... lo marah kenapa sih? Lo bukan cewe gua” ucap Mohan, pelan tapi menusuk. Ujian ego Aqeela dimulai.
“Karena gua gak suka! Catalina tuh gatel!”
“Posesif, dasar” sindir Mohan sambil tersenyum tengil.
“BIARIN!” bentak Aqeela.
“Cata kan cantik. Kenapa nggak boleh gua interaksi sama dia? Gua jomblo, Qeel.” Mohan semakin memancing Aqeela dengan ketengilannya.
Satu detik kemudian, PLAK!
"GUA BENCI LO"
Tamparan keras dari Aqeela mendarat tepat di pipi Mohan. Tapi Mohan tak bereaksi. Hanya menatap Aqeela, sambil nyengir kuda.
“Apa dasar lo benci gua?” tanyanya pelan.
“KARENA GUA CEMBURU! PUAS LO, MOHAN?!”
Ucapan itu membuat senja terasa makin tenang. Mohan menatap Aqeela dalam, nyaris tenggelam dalam sorot matanya.
“Kenapa harus banyak drama? Kalo lo emang cemburu, bilang aja. Bohong kalo gua bilang nggak punya perasaan. Gua juga sayang, Qeel. Sama lo. Gua cinta sama lo.”
Aqeela terpaku. Matanya berkaca-kaca. Rasa yang selama ini ia simpan ternyata tidak bertepuk sebelah tangan. Ia mengusap air matanya, lalu bertanya polos, seperti anak kecil yang ingin kepastian.
“Jadi... kita jadian atau apa?”
Tapi senyum Mohan meredup.
“Belum,Maaf... Lo boleh ngerasa milikin gua, tapi soal status... gua belum bisa kasih itu ke lo sekarang. Ada satu hal yang belum selesai dalam hidup gua. Dan lo jangan tanya kenapa. Karena gak semua hal lo harus tahu.”
Aqeela mengangguk. Perlahan. Meski dalam kepalanya,pertanyaan-pertanyaan berputar tanpa henti. Tapi seperti biasa, Mohan memang tak pernah benar-benar membuka dirinya.
YOU ARE READING
Love In Algorithm
Teen FictionHarry Alaric Vaughan sudah terbiasa hidup dalam sunyi. Jenius di bidang teknologi, tenang, tertutup, dan terlalu dingin untuk peduli urusan orang lain. Dunia baginya hanya algoritma, kode, dan layar komputer sampai dia mendengar suara cempreng yang...
Kata yang Tak Pernah Tuntas
Start from the beginning
