Harry menatap layar dengan dingin. Ia sudah menduga. Organisasi yang sama kelompok mafia dengan sistem pertahanan digital paling canggih di Asia. Tapi satu hal lain menarik perhatiannya.
“Apa yang terjadi pada Aqeela?” tanyanya pelan, namun nadanya tajam. “Jangan bilang… kalian menyalahkannya atas hilangnya Viran.”
Kedua orang tua itu terdiam. Saling menatap. Dan seperti biasa, tebakan Harry tak pernah meleset.
“Ia… dia tidak menjaga adiknya dengan baik. Kami kami kecewa…” ucap Mama Mayang dengan suara bergetar.
Harry langsung duduk tegak, nadanya berubah dingin namun menggigit.
“Jadi kalian membebankan semua ini ke pundak seorang gadis belasan tahun? Kalian menaruh tanggung jawab sebesar itu di bahunya, lalu menyalahkannya saat dunia kalian runtuh? Kalian sadar tidak, kalian adalah orang tua bukan dewa penghakim.”
Kedua orang tua itu terdiam. Hening menguap lama dalam jaringan suara digital itu.
“Apa kalian tidak pernah bertanya, kenapa Aqeela berubah? Kenapa dia kesulitan mengatur emosi? Apa kalian tahu seperti apa rasanya dituduh atas sesuatu yang bahkan tak bisa ia kendalikan? Aqeela bukan robot penjaga, dia manusia. Dan kalian adalah orang tuanya. Tapi kalian memilih menjadi hakim yang hanya tahu menyalahkan.”
Mama Mayang mulai menangis. Tangannya menutupi mulutnya. Suaminya memeluknya pelan. Mereka baru menyadari selama ini bukan Aqeela yang gagal menjaga Viran. Tapi mereka merekalah yang gagal menjaga Ke dua anaknya.
“Lalu… apa yang harus kami lakukan, Mr. HaV?”
Harry menghela napas panjang. Tatapannya kini lembut, namun tetap tegas.
“Maaf kalau saya lancang. Tapi renungkan semuanya. Kalian tak perlu membayar saya untuk mencari Viran. Saya hanya minta satu hal pulanglah, peluk putri kalian, dan minta maaf padanya. Bukan karena saya yang menyuruh, tapi karena kalian memang menyadari jika kalian salah selama ini dan pelukan itu dari hati tulus kalian.”
Telepon terputus.
Dalam keheningan yang tersisa, Mama Mayang menangis di pelukan suaminya. Untuk pertama kalinya dalam dua tahun, ia benar-benar merasa bersalah. Luka Aqeela adalah cermin dari kelalaian mereka. Dan jika benar Viran tak bisa dijaga oleh Aqeela, maka orang tua seperti merekalah yang patut bertanggung jawab.
Mereka memutuskan. Dua hari lagi, mereka akan pulang ke Indonesia. Bukan sebagai pebisnis, bukan sebagai orang tua keras yang menuntut. Tapi sebagai ayah dan ibu… yang ingin kembali merangkul putri mereka dengan kasih yang sempat hilang.
***
Langit senja mulai menampakkan keelokannya gradasi jingga keemasan membasuh langit, memanjakan mata siapa pun yang menatap. Di tengah taman penuh bunga dan kepakan kupu-kupu, Aqeela duduk bersisian dengan Mohan, di atas hamparan rumput hijau yang seolah jadi saksi bisu kisah random mereka.
Seperti kupu-kupu yang beterbangan itu, perut Aqeela juga penuh dengan "kupu-kupu" gejolak jatuh cinta yang tidak bisa disembunyikan. Mereka mengemut batang rumput yang sama, absurd tapi romantis versi mereka. Kata Mohan, "gigit rumput bisa nambah inovasi” entah teori darimana, tapi Aqeela tertawa saja.
“Moh...” panggil Aqeela pelan, matanya menatap Mohan yang sedang sibuk membaca buku filsafat.
“Iyaa, city girl. Lo mau apa?” jawab Mohan sambil menutup bukunya dan menatap Aqeela lekat-lekat.
Tatapan mereka terkunci. Sunyi. Tapi manis penuh cinta.
Namun momen itu terputus ketika suara ponsel Mohan berbunyi. Sebuah panggilan masuk dari nomor tak dikenal. Aqeela langsung cemberut. Ia benci gangguan, apalagi yang datang dari luar kebahagiaannya.
YOU ARE READING
Love In Algorithm
Teen FictionHarry Alaric Vaughan sudah terbiasa hidup dalam sunyi. Jenius di bidang teknologi, tenang, tertutup, dan terlalu dingin untuk peduli urusan orang lain. Dunia baginya hanya algoritma, kode, dan layar komputer sampai dia mendengar suara cempreng yang...
Kata yang Tak Pernah Tuntas
Start from the beginning
