"Konspirasi malam... ya kali gue di ghosting sama drone, gak lucu banget deh. Masa teknologi bisa PHP-in perasaan manusia? Gila gak tuh," gumamnya sambil manyun, seperti anak kecil yang mainannya hilang.
Aqeela lalu berbaring di bangku panjang taman, menggenggam ponselnya meski sinyal Wi-Fi rumahnya sudah mulai menyerah. Ia menghembuskan napas pelan, tapi penuh drama.
"Drone... kalo lo bisa denger suara hati gue... balik dong. Gue cuma mau tahu, lo tuh utusan alien, intel sekolah, atau satpam magang yang iseng? Gua janji gak lempar sendal kok. Asal jangan rekam pas gue ngupil aja."
Namun hingga embun mulai turun perlahan di dedaunan, drone itu tak kunjung muncul. Tak ada suara baling-baling kecil. Tak ada cahaya biru dari kamera. Hanya sunyi.
Akhirnya, setelah menguap sepuluh kali dan berdialog dengan kucing tetangga yang lewat, Aqeela menyerah.
"Yaudah lah ya... mungkin drone-nya lagi insecure liat gue bahagia."
Dengan langkah malas, Aqeela masuk ke rumah, menaiki tangga, dan menjatuhkan dirinya ke tempat tidur. Selimut ditarik sampai kepala.
"Besok gua investigasi. Sumpah, gua gak bisa hidup kayak gini... rasa penasaran gua tuh kayak Indomie tanpa bumbu, hampa."
Dan malam pun berlalu, sementara Aqeela tertidur dengan kepala penuh teori konspirasi dan drama batin tentang sebuah drone misterius.
***
Di tengah gelapnya malam, ketika langit hanya dihiasi titik-titik bintang dan suara jangkrik menggema di kejauhan, seorang pemilik drone memandangi layar monitornya dalam diam. Ia tidak mengaktifkan pergerakan drone malam ini bukan karena kehilangan rasa ingin tahu, melainkan karena ia tahu, Aqeela sedang tertawa bahagia bersama Fattah.
Harry Alaric Vaughan tak ingin mengusik kebahagiaan itu. Ia hanya memantau dari sistem pelacakan GPS hasil modifikasi yang sudah lama ia tanam di ponsel Aqeela. Bukan untuk melanggar privasi, melainkan sebagai sistem proteksi. Setidaknya, itulah yang selalu ia yakini. Ia hanya ingin memastikan bahwa Aqeela aman. Dan malam ini, Harry memilih diam.
Namun, ada hal lain yang jauh lebih mengusik pikirannya dibanding sekadar cemburu pada kehadiran Fattah seseorang bernama Sandy.
Di dalam lab rahasianya yang tersembunyi di balik sistem keamanan multi-layer, Harry mengetik cepat. Algoritma pelacakan bekerja dalam diam. Data Sandy terkunci rapat. Ini bukan pengamanan biasa. Firewall-nya kompleks, sistemnya terenkripsi tiga lapis, dengan backdoor yang sudah dibersihkan.
"Damn... dia bukan siswa biasa" gumam Harry, jari-jarinya tak berhenti bergerak. "System segininya... bisa dibilang ini mainan profesional."
Ia menyipitkan mata, lalu menarik napas panjang.
"Oh shit, kenapa gak ketemu..." gerutunya, sebelum akhirnya berkata pelan,
"Oke, Sandy... sorry, gua pakai cara yang lain."
Dengan tenang, Harry membuka jalur lain, jalur gelap milik para hacker kelas atas. Server itu disebut VoidShell, tempat di mana hanya mereka yang menguasai bahasa mesin tingkat tinggi yang bisa masuk dan bertahan. Butuh waktu. Tapi tak lama kemudian, pertahanan Sandy mulai goyah. Dan... jebol.
Sistem Sandy ditaklukkan.
Sementara itu, jauh di sudut lain , ruang lab yang tak kalah tersembunyinya, seseorang mengepalkan tangannya di depan monitor.
"Sial... ada yang main-main sama gue. Siapa dia yang berani bobol sistem gue?" gumam Sandy, matanya tajam menatap retakan virtual yang muncul di layarnya.
Kembali ke Harry data yang ia lihat membuat alisnya terangkat tinggi.
"Sandrina Fernandez," bisiknya. "Adik tiri Fattah. Beda ibu. Pantas..."
YOU ARE READING
Love In Algorithm
Teen FictionHarry Alaric Vaughan sudah terbiasa hidup dalam sunyi. Jenius di bidang teknologi, tenang, tertutup, dan terlalu dingin untuk peduli urusan orang lain. Dunia baginya hanya algoritma, kode, dan layar komputer sampai dia mendengar suara cempreng yang...
Kode-Kode berbahaya
Start from the beginning
