Jejakmu Masih Ada di Algoritmaku

Mulai dari awal
                                        

Aqeela membuka matanya lebar-lebar, penuh kegembiraan. "Daaaann inilah dia! Yang bikin bunga teratai gue mekar sepenuh nya Fattah Syach Fernandez, lengkap dengan motor Ninja maroon favorit gue!"

Tawa kembali pecah di antara mereka. Bahkan Harry ikut tersenyum di balik diamnya. Melihat Aqeela tertawa bahagia sudah cukup membuat dunia Harry terasa hangat. Kebahagiaan Aqeela... selalu jadi obat paling mujarab untuk luka tersembunyi miliknya. Bahkan, rasa cemburu sekalipun.

***
Aula SMA Pratama Dirgantara hari itu dipenuhi oleh aura ketegangan. Para siswa dari Asrama 9 Ilmu resmi dipindahkan dan kini akan menjadi bagian dari SMA Pratama Dirgantara. Dua kubu anak-anak asrama dan siswa asli sekolah itu berdiri berhadap-hadapan, saling menatap tajam. Di tengah aula, para guru dan staf asrama berdiri berdampingan dengan kepala sekolah, siap menyatukan dua dunia yang selama ini terpisah.

Mata para siswa langsung tertuju pada papan mading besar di ujung aula. Di sanalah tertempel pengumuman penting, pembagian kelas.

“Whatttt!!!!!!! Ini, ini kenapaa gue sekelasnya sama si Molen? Bukan sama Fattah?!” teriak Aqeela dramatis, tangan di kepala, mata membelalak seperti habis lihat harga skincare naik dua kali lipat. Semua siswa langsung menggeleng, sudah terbiasa dengan kehebohannya.

“Asik, Citygirl! Gue sekelas sama lo!” seru Mohan kegirangan, tanpa sadar ada tatapan tajam seperti laser dari samping yaitu, Raisa.

“Baby boy, kamu lupain aku yang berdiri di sebelah kamu ini?” ucap Raisa dengan nada lebay khasnya, satu alis terangkat tinggi.

“Oh iya, baby girl. Tapi... ko kita nggak sekelas ya? Kamu di kelas IPA tuh, bareng Cantika sama Victoria. Dadaah baby girl~” kata Mohan, pura-pura sedih sambil melambai lebay.

Raisa langsung cemberut. Dan ya, benar, dia memang di kelas IPA... bersama Fattah.

“Kalo kamu berani deketin Aqeela, aku akan godain Fattah,” ucap Raisa, menantang, sambil menyilangkan tangan di dada.

“Hehhh seleb gagal, otak lo tuh ya—minta gue belek. Berani-beraninya lo mau godain cowok gue, Raisa!” serang Aqeela, suara cemprengnya menggema seantero aula.

Semua murid mulai ribut... sampai sebuah suara lantang memecah kericuhan.

“Cukup!” tegas Bu Anita, guru disiplin yang terkenal galak. “Tidak ada perdebatan. Tidak ada protes memprotes. Pembagian kelas sudah ditentukan dan tidak bisa diganggu gugat. Jika ada yang masih mau pindah kelas seenaknya, silakan ke ruang BK... dan bersiaplah menerima hukuman pertama kalian di sekolah ini!”

“Tapi, Bu... saya sama Fattah tuh nggak bisa dipisahin,” protes Aqeela setengah memelas, setengah drama sinetron.

“Aqeela, kamu mau berjemur di tengah lapangan... atau masuk kelas sesuai yang sudah ditentukan?” Bu Anita menatapnya tajam.

Aqeela mendengus kesal, pasrah, dan akhirnya menyerah.

Bahkan Harry pun, kalau boleh jujur, ingin ikut protes. Karena ia pun dipisahkan dari Aqeela. Ia masuk kelas IPA, sedangkan Aqeela di kelas IPS. Dan untuk seseorang seperti Harry yang terbiasa hidup dalam ketenangan dan ketepatan algoritma kehadiran Aqeela yang absurd dan random itu seperti bug yang justru menyenangkan. Tapi Harry tetaplah Harry: tenang, dingin, dan misterius. Ia hanya menatap Aqeela dari kejauhan, tersenyum samar di balik wajah datarnya. Karena kadang, menikmati kerandoman Aqeela diam-diam... jauh lebih indah dari pada melihat system error di ruang lab rahasianya.

Suasana kelas IPA seperti lemari es, dingin, formal, dan terorganisir. Anak-anak di dalamnya diam, fokus, dan... ya, sedikit membosankan. Kecuali satu hal yang menyita perhatian, Harry Alaric Vaughan, duduk di pojok jendela dengan gaya cool ala drama Korea, tapi otaknya setajam algoritma Google.

“Harry... kamu suka astronomi juga?” tanya Cantika, si gadis populer yang duduk satu bangku di depannya, mencoba membuka obrolan dengan senyum sok manis.

Harry menoleh sekilas. “Langit terlalu luas untuk dikagumi bareng orang yang nggak ngerti isinya ” jawabnya datar, sebelum kembali menatap keluar jendela.

Cantika langsung mingkem.

Satu per satu, cewek-cewek kelas IPA mulai sadar, Harry bukan tipe yang bisa didekati dengan gaya gombal biasa. Dia bukan bintang yang bisa disentuh dia komet, lewat cepat dan bikin geger.

***
Di lorong antara kelas dan kantin, Aqeela melangkah dengan semangat 45. Rambutnya tetap indah terurai di curly menambahkan kesan badas di wajah nya .

Lalu cling! dari arah berlawanan, muncul Harry. Jalan pelan, tangan di saku, gaya tenangnya nggak pernah gagal bikin slow-mo vibes muncul sendiri di kepala orang.

“Cuaca hari ini emang panas” ucap Aqeela tiba-tiba, berhenti pas di depan Harry. “Tapi kenapa gue kalo liat lo... vibes-nya langsung adem, kayak kena angin sepoy-sepoy di jalan?”

Harry berhenti, menatapnya sebentar. Lalu...

“Dan ketika gue ketemu lo... gue ngerasa kayak ada di rumah yanga ada di kutub utara. Dan lo itu perapiannya. Yang selalu bikin hangat.”

Aqeela ternganga. Dia nutup lengan sendiri kayak habis kena serangan jantung lucu. “OMG, Harry!!! Lo bisa bikin analogi absurd juga???”

Harry nyengir. “Bisa. Kalo lawan bicaranya menarik.” Lalu ia menambahkan, setengah menyindir, setengah menebak “Gue tebak... lo pasti lagi nyari Fattah. Atau... Zara?”

Aqeela ketawa ngakak, sampai matanya menyipit. “Wah wah wah, gue takjub sama lo, Her. Lo bisa ngeramal juga. Sumpah ya... kalo Jaya sia-sia in lo, dia parah banget. Cowok seasik lo masa nggak dilirik?”

Dan seolah dipanggil alam semesta, Zara muncul dari belakang.

“Hai Aqeela, mau ke kantin bareng?” sapa Zara, ramah.

Aqeela langsung menunjuk Harry dengan gaya ala emak-emak ngegosip, “Jaya, lo liat Harry deh! Lo cocok banget sama dia! Kalian tuh... sama-sama ‘namaste’. Pasti hidup kalian adem terus kayak AC 2 PK!”

Zara tertawa kecil, malu-malu. Harry cuma mengangguk pelan, senyum tipis yang... entah kenapa, bikin suasana makin hangat.

Harry dan Zara hanya saling bertukar pandang sebentar. Tapi cukup untuk bikin Aqeela makin semangat.

Sambil jalan duluan, Aqeela nyeletuk, “Gue bukan Cupid sih, tapi insting gue tuh sering bener, tau.”

Harry menatap punggung Aqeela yang menjauh. Di dalam hatinya, ia berbisik pelan:

"Aqeela, Aqeela... lucu banget sih kamu."

Love In AlgorithmTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang