Tantangan dalam Program Cinta

Start from the beginning
                                        

Harry mengangkat pandangan. "Gue mungkin bisa jagain Zara. Tapi lo dengerin ini baik-baik, Fattah."

Dia menatap lurus ke arah Fattah, suaranya tenang tapi tegas seperti kode yang ditulis dengan sempurna.

"Sebelum lo mikirin buat jaga cewek lain, pastiin dulu lo nggak nyakitin cewek lo sendiri. Jangan sampai lo bikin luka di firewall-nya hati Aqeela karena lo terlalu fokus sama sistem lain."

Fattah terdiam.

Harry menyesap kopinya. Pahit. Tapi setidaknya dia tahu rasanya masih nyata.

"Kalau cinta itu coding, maka Aqeela adalah syntax error yang gue nggak bisa hapus dari program gue. Tapi kalau dia bahagia sama lo, ya... mungkin gue harus mulai debug perasaan ini." gumam harry dalam hati.

Fattah menunduk. Kata-kata Harry tadi seperti air dingin di pagi buta membangunkan kesadaran yang sempat tertidur.

"Gue sayang sama Aqeela, Her... tapi kadang gue terlalu pengen nolong dia sampe lupa batas" gumam Fattah.

Harry menatapnya lama. "Kebaikan itu nggak salah. Tapi kalau sampai bikin orang yang percaya sama lo merasa sendirian, itu bukan lagi kebaikan itu kelalaian."

Fattah mendesah pelan. "Gue gak mau kehilangan dia, Her. Tapi gue juga gak bisa ninggalin orang yang harus gue tolongin karna dia lemah."

"Masalahnya bukan siapa yang lo tolong, tapi siapa yang paling butuh lo ada secara utuh. Aqeela nggak butuh lo jadi pahlawan buat cewek lain. Dia cuma pengen jadi rumah buat lo pulang," ucap Harry pelan, penuh makna.

Fattah menatap langit, termenung. "Aqeela selalu bisa selesain masalahnya sendiri dia cewek kuat , sedangkan zara.. ada sesuatu di dalam diri dia yang mengharuskan gue buat tolong dia"

Harry menambahkan, "Kadang yang paling kuat itu bukan yang gak nangis. Tapi yang tetap bertahan meski gak ada yang ngertiin dia."

Hening. Tapi bukan hening yang canggung. Hening yang mengendap seperti pesan dari hati ke hati.

Kembali ke Asrama putri

Aqeela dan Zara masih duduk berdampingan. Tangis sudah mulai reda, tapi udara masih basah dengan sisa emosi yang menggantung.

"Aku pernah mikir kamu itu antagonis dalam sebuah film, Qeel... Tapi ternyata kamu cuma manusia biasa yang berusaha kuat dan aku malu sama kamu, kamu sehebat itu" ujar Zara pelan.

Aqeela nyengir kecil. "Gue tuh absurd, bukan jahat. Kalo suara gue cempreng kayak sirine mobil kebakaran, itu emang udah setting pabrik, bukan karena marah-marah mulu."

Zara tertawa kecil. Itu pertama kalinya ia tertawa hari itu.

"Besok, kita cari solusinya bareng-bareng ya. Gue, lo, Fattah... bahkan kalo perlu Harry juga," ujar Aqeela.

Zara menatap Aqeela heran. "Harry? Emang dia peduli sama urusan aku qeel?"

Aqeela terdiam sejenak, lalu tersenyum samar. "Harry tuh... tipe yang diem tapi perhatian. Kalo lo ngerti caranya baca kode hatinya, dia tuh kayak firewall, keras di luar, tapi nyimpen banyak proteksi buat orang-orang yang dia anggap penting."

Zara mengangguk. "Mungkin... dia juga bagian dari solusi yang aku cari."

Aqeela menatap jam dinding. Hampir tengah malam.

"Udah ya, tidur dulu. Besok kita bakal hadapi semua bareng-bareng. Hidup lo belum error, jaya... lo cuma butuh reboot, bukan shutdown."

Zara tertawa kecil lagi, dan kali ini tanpa air mata.

Pagi harinya, setelah Aqeela selesai merapikan barang-barangnya ke dalam koper, ia berniat untuk menemui Fattah dan Harry. Namun, langkahnya terhenti ketika melewati taman. Dari balik celah pepohonan, Aqeela melihat Mohan sedang berbincang dengan Pak Rudi. Tanpa sengaja, ia mendengar percakapan mereka.

"Mohan, kau mau pulang ke mana? Kalau kau tak keberatan, tinggal saja bersamaku lagi" ucap Pak Rudi dengan logat Medan yang khas.

"Kalau Bapak keberatan, saya nggak apa-apa, Pak. Saya udah biasa kok, nggak punya rumah" jawab Mohan pelan.

Aqeela yang mendengar itu terdiam. Hatinya tercekat. Ia memang sering kesal dengan Mohan, Mohan itu seperti Joker versi murah yang hobi ganggu Batman. Tapi sejak insiden emosi Aqeela yang meledak dan Mohan datang sebagai air es di tengah kebakaran, Aqeela jadi... ya, mulai mikir, ada rasa yang tumbuh di dalam dirinya. Tapi rasa itu langsung ditendang jauh-jauh, dilempar ke jurang, ditimbun pakai batu bata, karena, "Hellooo Aqeela revanna celestia! Mohan pacarnya Raisa, dan lo pacarnya Fattah!" Ucap Aqeela pada dirinya sendiri.

Aqeela kembali fokus pada misinya, yaitu mencari Fattah sang pujaan hati yang membuat hati Aqeela kacau belakangan hari ini .

Sayangnya, pikirannya masih berkelana kemana-mana, dan...

Brugh.
Tubuh mungilnya menabrak sesuatu yang keras bukan batu, bukan tiang listrik, tapi... dada bidang seseorang.
"Aduh! Kepala gue sakit. Tapi nggak, gue nggak amnesia ya. Gue Aqeela, oke? Gue masih inget sama diri gue!" gerutunya absurd sambil mengelus jidat.

Dalam hitungan satu, dua, tiga... mulut merconnya langsung meledak.
"Lo tuh ya, kenapa ada di sini? Kayak batu nyasar!"

Namun, sebelum ocehannya berlanjut, suara itu datang.

"Kamu kenapa, Aqeela?"

Suara itu... lembut. Selembut benang sutra. Semerdu aliran sungai yang menenangkan. Seketika Aqeela diam. Terbata. Bibirnya kelu. Ia tahu suara itu. Harry.

"Apa yang buat lo gak fokus sampai nggak liat gue berdiri di sini?" lanjut Harry.

Aqeela menggigit bibir. Ada sesuatu yang tidak ia mengerti. Bukan rasa suka, bukan pula seperti saat ia melihat Mohan. Tapi... nyaman. Seperti pelukan tak kasat mata. Harry selalu membuatnya merasa aman, seakan mereka sudah lama saling mengenal.

"Kenapa ya gue kalau liat dia, rasanya kayak udah lama banget kenal... padahal, kan baru di asrama ini. Oke, Aqeela ini aneh. Meski dia kadang kayak kulkas empat pintu dingin, beku, tapi vibes-nya ngademin... seadem AC Indomaret." gumam Aqeela dalam hati.

"Hmmm, sorry Her. Gue yang salah. Udah nabrak lo, gue minta maaf," ucapnya akhirnya.

Harry tersenyum hangat.

"Nggak apa-apa, Aqeela. Untung yang lo tabrak gue, bukan tembok depan kantin."

"Hahaha! Bisa-bisa jidat gue benjol dong! Eh, gue lagi cari Fattah. Lo liat dia?" tanya Aqeela.

"Tadi pas gue keluar asrama, dia juga keluar dari kamarnya. Tapi gue nggak tahu dia ke mana," jawab Harry.

Tiba-tiba Aqeela teringat sesuatu. Matanya berbinar.

"Oh iya! Gue juga mau cari lo! Dan ternyata semesta mempertemukan kita."

Harry hanya tersenyum lagi, diam-diam menahan gejolak dalam dadanya.

"Iya, Aqeela Revanna Celestia. Semesta mempertemukan kita lagi. Semoga dari pertemuan ini, ada kabar baik di masa depan. Meski nyatanya, aku sadar... kamu sudah jadi milik orang lain sekarang." gumam Harry dalam hati.

Saat ia mulai ingin melupakan dan memulai lembar baru, semesta justru membawa Aqeela kembali ke hadapannya seolah ada benang merah yang tak bisa ia putuskan.

"Ada perlu apa, Aqeela? Kenapa cari gue?" tanya Harry, lembut seperti biasa.

"Soal Zara... Gue kayaknya butuh saran juga dari lo," jawab Aqeela ragu.

Namun, Harry menatapnya dengan maaf tersirat.

"Maaf ya, Aqeela. Gue nggak bisa lama. Ada urusan penting yang harus gue selesaikan di ruang guru."

"Hmm... oke deh." jawab Aqeela, agak lemah.

Saat itu, ia melihat sosok yang dicarinya.

"FATTAHHHH!" teriak Aqeela dengan suara cemprengnya yang khas.

"Bye, Harry! Gue ke Fattah dulu, ya!" ucapnya sembari berlari kecil.

Harry tersenyum dan hanya mengangguk pelan.

Aqeela dan Fattah pun duduk di bangku taman, menemui Zara. Mereka membahas di mana Zara akan tinggal setelah kejadian kemarin. Keputusan diambil untuk sementara, Zara akan tinggal di rumah Aqeela, dan setelahnya, Aqeela dan Fattah akan membantu mencarikannya tempat tinggal yang lebih tetap.

Love In AlgorithmWhere stories live. Discover now