Firewall yang Retak

En başından başla
                                        

Harry dan William sama-sama mengangguk.

Tanpa menunggu, Fattah segera melangkah pergi. Ia tak rela Aqeela terlalu lama ditemani oleh cowok lain terutama cowok absurd yang kadang kelewat tengil itu.

***
Hari itu jadi crash system buat Harry. Mood-nya kacau. Semua komponen emosinya overload. Marah ke Fattah, dan jauh lebih marah ke dirinya sendiri.

Kenapa bukan gue? Kenapa bukan gue yang tenangin dia? pikirnya, menatap kosong ke arah lorong.

Ada rasa tak nyaman menyusup seperti malware dalam sistem, perasaan takut cintanya bakal bertepuk sebelah tangan lagi. Apalagi… Harry melihat, Mohan dan Aqeela? Possible connection detected. Entah kenapa, kombinasi itu terasa mengancam.

Harry menarik napas kasar, seperti menarik tali busur terlalu kencang.

"Yang penting dia aman..." bisiknya, "...meskipun hati gue udah masuk zona rawan serangan."

Harry pun memutar langkah kembali ke UKS. Begitu pintu didorong, ia melihat Zara duduk sendiri di ujung ruangan. Gadis itu menangis, tubuhnya gemetar seperti komputer tua yang hampir overheat.

Pelan, Harry masuk. “Zara…” suaranya tenang.

Zara mengangkat kepala, matanya merah. “Aku… nggak maksud ganggu siapapun, Harry. Aku bener-bener gak tahu kenapa Aqeela marah banget…”

Harry duduk di sampingnya, menjaga jarak, tapi tetap dalam radius empati.

“Aku tahu kamu nggak salah,” ucapnya tenang, “Tapi kamu juga harus ngerti… Fattah itu pusat orbitnya Aqeela. Kalo kamu terus deketin dia, tanpa kamu sadari, kamu bikin Aqeela makin nyasar dalam emosinya.”

Zara terdiam.

“Zara… kamu punya hati yang lembut. Tapi hati yang lembut juga bisa ngelukain, kalau nggak tahu kapan harus mundur” lanjutnya.

Zara mengangguk pelan. “Aku… ngerti, Harry. Makasih udah bilang kayak gini ke aku.”

Harry tersenyum samar, “Justru karena kamu layak dihargai, aku nggak mau kamu terjebak di antara orang yang lagi struggling sama hubungan mereka. Kamu pantas dapat perhatian… tapi bukan dari orang yang udah punya pusat panahnya sendiri. Jangan sampe Aqeela ngerasa sakit hati sama kamu jaga hati dia karna dia kan teman sekamar kamu”

Zara menatap Harry, untuk pertama kalinya merasa dihargai bukan karena wajah manisnya, tapi karena nasihat yang datang tulus tanpa embel-embel.

“Makasi, Harry..”

Harry hanya tersenyum. Dalam hati, ia berkata, beda karena terlalu banyak luka dalam diam.

Sementara itu, di dimensi lain alias aula depan, ada kumpulan orang tua, guru, dan kepala asrama yang mengumumkan:

“Asrama ini resmi dibubarkan. Seluruh siswa akan dipindahkan ke sekolah SMA reguler yang sudah kami siapkan.”

SEDETIK HENING.

Lalu…

“YEEEEEEESSSSS!!! AKHIRNYA NGGAK MANDI SUBUH-SUBUH LAGI!” teriak Andro, anak absurd yang hobinya kabur pas jadwal piket.

“Bro, bro, bro… gimana nasib charger HP yang gue tanam di bawah kasur?!” celetuk dava panik.

“Gue belum balikin mangkok mie instan yang gue ambil dari dapur minggu lalu…” desis Vania, sambil ngintip ke arah ibu dapur.

“Tunggu, berarti gue bakal pisah kamar sama Raisa?? NOOOO!” Victoria mendadak drama, padahal seminggu lalu dia nyumpahin Raisa karena rebutan remote AC.

Di sudut ruangan, Harry berwajah datar.

Dan ada yang senyum kecut Fattah, yang baru saja diberitahu oleh William bahwa Aqeela di tenangkan oleh Mohan.

***

Sore itu, langit mulai menguning, dan keputusan sudah dibuat. Anak-anak asrama akan pindah. Hubungan mereka akan diuji. Termasuk hati yang mulai goyah seperti algoritma yang ditumpuk tanpa testing.

Dan di antara semua itu, Aqeela duduk di tangga belakang aula matanya masih sembab, tapi emosinya mulai reda.

Seseorang datang menghampiri, Fattah.

“Aqeela…” ucapnya.

Aqeela menoleh pelan. Di belakangnya, Mohan bangkit berdiri dan memberi kode dengan mata.

“Coba ngomong pelan-pelan, tanpa emosi ” ucap Mohan tenang. “Gue tunggu di sana.” Ia pun pergi, meninggalkan mereka berdua.

Fattah menatap gadis itu dalam.

“Aku minta maaf.”

Aqeela hanya mengangguk, tanpa berkata apa-apa.

Untuk pertama kalinya, mereka diam. Tapi dalam diam itu… ada ribuan kata yang tersimpan.

Dan di kejauhan, Harry berdiri di balik bayangan pilar aula.

Mungkin, saat ini, bukan waktu gue untuk masuk ke sistem yang rusak. Tapi suatu hari… kalau dia butuh backup system, gue akan ada.

Love In AlgorithmHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin