Mark terdiam. Dunia seperti berhenti berputar. Kata-kata itu menggema di dalam kepalanya berulang kali, menusuk ke setiap sudut hatinya.
Tubuhnya gemetar hebat. Urat-urat di leher dan tangannya menegang, tampak jelas di bawah kulit pucatnya. Ia mengepalkan tangan hingga darah berhenti mengalir ke jari-jarinya.
"Tidak..." bisik Mark akhirnya, nyaris tak terdengar. "Dia tidak boleh mati... Haechan tidak boleh mati sebelum aku..."
Mark menatap ke arah pintu ruangan, matanya yang dingin berubah menjadi lautan air mata. "Kalau ada yang harus mati... siapa saja. Tapi bukan dia. Bukan Haechan."
Ia jatuh berlutut di lantai, tangan menutup wajah, suara napasnya tercekat, dan dunia terasa runtuh di atas kepalanya.
♫•*¨*•.¸¸♪
Mark membuka pintu ruangan dengan perlahan, hampir tak bersuara. Aroma rumah sakit yang menyengat bercampur dengan samar feromon Haechan yang melemah. Cahaya redup dari lampu di sudut kamar memantulkan warna pucat dari kulit kekasihnya yang terbaring diam di atas ranjang, dikelilingi selimut putih yang terasa terlalu dingin.
Langkah Mark perlahan mendekat. Jantungnya masih berdetak kencang, penuh gemuruh yang tak bisa ia redam sejak mendengar kabar itu. Ia berdiri di sisi tempat tidur, menatap wajah Haechan yang tampak jauh lebih lelah dari biasanya. Kelopak matanya menutup rapat, bibirnya pucat, dan napasnya pelan namun masih teratur.
Mark mengulurkan tangan, mengusap pipi Haechan dengan punggung jarinya. Sentuhan itu begitu lembut, seperti menyentuh kaca rapuh yang bisa pecah hanya karena angin.
"Sayang..." bisiknya pelan.
Namun tak ada jawaban, hanya desiran napas pelan yang keluar dari dada Haechan.
Perlahan, pandangan Mark bergeser ke bawah, ke arah perut Haechan yang sudah membuncit. Perut itu... adalah rumah bagi dua nyawa yang sedang tumbuh, nyawa yang berasal dari darahnya, kekuatannya. Dan tiba-tiba— matanya berubah.
Merah.
Tangannya, yang awalnya hanya diam di sisi tubuhnya, kini bergerak memegang perut Haechan. Kali ini tidak terlalu lembut, seolah ada getaran marah yang tertahan dalam sentuhan itu.
"Kalian..." suara Mark rendah dan dingin. "Kalian bahkan belum lahir... tapi sudah berani jadi ajal untuk ibu kalian?"
Dia tertawa pelan— dingin dan getir, seperti orang yang sudah kehilangan setengah jiwanya.
"Kalau ibu kalian mati..." lanjutnya, suaranya mulai retak, "aku juga ingin mati. Aku tak bisa hidup tanpanya..."
Mark menunduk, dahinya hampir menyentuh perut Haechan saat ia masih menahan tangis. "Siapa yang akan menjaga kalian, hah Kalian pikir aku bisa menggantikan Haechan? Tidak ada yang bisa..."
Kemudian, Mark mengangkat wajahnya, menatap lagi ke arah wajah Haechan. Ia masih tidur, tak menyadari badai di dada pasangannya.
"Sayang..." bisik Mark sekali lagi, kali ini suara itu menyimpan luka yang lebih dalam. "Kau lebih mencintaiku... dari anak-anak ini, kan?"
Ia menggenggam tangan Haechan dan mencium punggung tangannya dengan bibir yang gemetar. Matanya masih berkilat merah, feromonnya menguar hebat.
"Karena kalau kau pergi... aku tidak punya alasan untuk tetap tinggal..."
Langkah kaki Mark terdengar perlahan menjauh dari ruangan. Ia tidak menoleh lagi, tidak berani. Suara pintu tertutup dengan pelan, seperti dunia yang ikut menahan napas.
Keheningan mengambil alih. Lalu, suara lirih dari balik ranjang terdengar— suara napas yang tercekat, air mata yang menetes tanpa bisa dibendung.
Kelopak mata Haechan terbuka perlahan, pandangannya kabur oleh genangan air mata. Ia menggigit bibir, menahan suara sesenggukannya agar tidak terdengar oleh siapa pun. Tapi tubuhnya bergetar— menangis dalam diam, lalu dengan suara pelan, penuh luka dan rasa takut yang telah lama ia simpan sendiri.
Tangannya gemetar saat menyentuh perutnya yang membuncit, mengelus dengan kasih sayang dan kesedihan yang tak terbendung.
"Bayi-bayiku..." suaranya lirih, retak seperti kaca yang pecah di tengah malam.
Air mata menetes deras membasahi pipinya. "Apa kita... harus pergi dari ayah kalian?"
Pandangannya menatap kosong ke langit-langit kamar, seperti mencoba mencari jawaban dari semesta.
"Aku takut... aku takut Mark akan membuang kalian," bisiknya, pelan, seolah hanya ingin didengar oleh dua nyawa kecil di dalam perutnya. "Aku tahu tubuhku lemah... aku tahu aku seharusnya tak bisa menampung kalian... tapi aku juga tak sanggup kehilangan kalian..."
Ia memeluk perutnya lebih erat, seperti mencoba melindungi mereka dari seluruh dunia, bahkan dari ayah mereka sendiri.
"Ayah kalian mencintaiku... tapi kalau harus memilih antara aku atau kalian... aku takut dia akan memilih aku, dan bukan kalian..."
Tangisnya pecah sepenuhnya, memenuhi ruangan yang sunyi itu. Perasaannya bergemuruh antara cinta dan rasa bersalah. Ia tidak ingin Mark menderita, tapi juga tidak ingin mengkhianati janji yang sudah ia bisikkan dalam hati kepada anak-anaknya sejak mereka ada.
"Aku... aku akan lindungi kalian," ucapnya akhirnya, suaranya lemah tapi penuh tekad. "Walaupun harus sendiri..."
— to be continued —
₊˚✧⋆ jangan lupa vote dan comment ya ₊˚✧⋆
Hey, untuk yang lagi baca dan mungkin mulai kesel sama Mark— please, jangan terlalu benci dia dulu, ya. Mark bukan monster, dia cuma seseorang yang sangat mencintai pasangannya. Terlalu cinta, malah. Bayangin, dia udah hidup hampir 30 tahun bareng Haechan, dari mereka kecil, tumbuh bersama, jatuh cinta diam-diam, saling melindungi, sampai akhirnya mereka membentuk ikatan sekuat ini. Jadi, ketakutan Mark itu bukan cuma soal kehilangan, tapi soal kehilangan seluruh hidupnya.
Di sisi lain, Haechan juga nggak salah. Mana ada ibu di dunia ini yang sanggup nerima kenyataan bahwa anak-anak yang dia kandung—yang dia rasain setiap hari geraknya, detaknya, napasnya— mau diambil darinya begitu saja? Rasa sayang seorang ibu itu bukan sekadar insting, tapi ikatan batin yang tumbuh setiap detik dalam dirinya.
Mereka berdua sama-sama mencintai terlalu dalam, sampai-sampai kadang mereka juga egois. Tapi bukankah itu yang bikin mereka terasa nyata? Mereka nggak sempurna, tapi cinta mereka nyata. Terlalu nyata sampai menyakitkan.
Jadi, kalau kalian ngerasa kesal sama Mark atau Haechan... itu valid banget. Tapi coba juga lihat sisi luka mereka— mereka cuma manusia yang lagi berjuang mempertahankan apa yang paling berharga dalam hidup mereka.
Dan yes konflik kali ini tujuannya buat kalian tahu betapa besarnya peran Haechan di hidup Mark, bahkan gak ada yang bisa jadi saingan dia. Di sini juga mau highlight betapa alpha hyperdominant itu hidupnya cuma buat memuja jiwa omeganya sendiri.
ВЫ ЧИТАЕТЕ
HYPER DOMINANT CODE
Любовные романыDulu, Mark dan Haechan berteman tanpa peduli siapa mereka. Saat kecil, mereka hanya tahu bahwa mereka rukun-Mark si beta biasa dan Haechan si omega resesif. Mereka tertawa bersama, berlarian di bawah matahari, dan menganggap dunia sederhana saja. Na...
PART 39 : Three Heartbeats
Начните с самого начала
