PART 33 : Little Family

10.6K 690 21
                                        


Pertanyaan Haechan menggantung di udara seperti embun yang belum sempat jatuh. Mark membeku. Tidak menjawab. Tidak langsung menatap. Nafasnya tertahan di dada, dan dalam sekejap, dunia seolah berhenti berputar.

Bayangan itu datang tiba-tiba.

Dalam benaknya, Mark melihat seorang anak kecil berlari di antara bunga-bunga liar. Rambut cokelat terang yang berayun lembut setiap langkah kecilnya, tawa renyah yang menggema seperti nyanyian musim semi. Di kejauhan, Haechan duduk di bangku taman, membuka kedua lengannya, menyambut sang anak kembali ke pelukannya. Wajah Haechan bersinar penuh cinta— sejenis kasih sayang yang membuat jantung Mark hampir berhenti.

Mark bisa membayangkan bagaimana anak itu akan menempel manja pada Haechan, menyentuh wajahnya dengan tangan mungil yang gemetar saat tertawa, dan mencium pipi Haechan penuh gemas, seperti meniru apa yang Mark lakukan setiap malam. Anak itu akan tumbuh dalam pelukan hangat mereka. Mereka bertiga, menjadi rumah bagi satu sama lain.

Namun bayangan itu memudar secepat datangnya— terseret oleh arus ketakutan yang mengalir deras. Wajah Haechan berubah pucat, berkeringat dingin di ranjang rumah sakit. Tubuh mungilnya menggigil, air matanya mengalir deras menahan kontraksi yang datang bertubi-tubi. Mark menggenggam tangan Haechan erat, berusaha meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tapi suara alat medis yang meraung dan kilatan lampu ruang operasi hanya menambah rasa mencekam.

Dan kemudian— bayangan yang paling menakutkan. Tubuh Haechan terbaring kaku. Dingin. Mata tertutup. Tidak bergerak.

Mark langsung terjaga dari lamunan, seolah dicekik oleh kemungkinan yang tak sanggup ia hadapi.

Namun, saat ia memalingkan wajah ke arah Haechan— yang masih menatapnya penuh rasa malu, namun juga penuh harap, segala kekhawatiran itu perlahan mencair. Sorot mata Haechan yang jujur, yang tulus, menyadarkannya bahwa ini bukan tentang ketakutan. Ini tentang kepercayaan. Tentang cinta yang begitu dalam, hingga sanggup melawan kemungkinan paling mengerikan sekalipun.

Mark menghela napas pelan, lalu mengangkat tangannya dan menyentuh pipi Haechan lembut. Ia tersenyum, pelan, hangat, dan penuh keyakinan.

"Aku yang seharusnya bertanya lebih dulu, sayang," katanya dengan suara rendah yang hampir terdengar bergetar. "Apakah kau... benar-benar ingin bayi dariku?"

Haechan terdiam sesaat, lalu mengangguk. Wajahnya memerah, tetapi tidak ada keraguan di dalam sorot matanya.

"Aku tahu risikonya tinggi... Tapi aku ingin mencoba, kalau itu denganmu."

Mark memejamkan mata sejenak, menahan gejolak yang bergemuruh di dadanya. Lalu, ia membungkuk, mencium kening Haechan dengan sangat hati-hati, seolah Haechan adalah sesuatu yang terlalu rapuh untuk disentuh dunia.

"Kalau begitu... maka begitu."

Mark menarik Haechan ke dalam pelukannya, lebih erat dari sebelumnya. Ia ingin membungkus Haechan dari segala bentuk bahaya, dari segala ketakutan, dari segala hal yang bahkan belum terjadi.

"Aku pernah baca kalau feromon alpha bisa membantu memperkuat kondisi tubuh omega selama kehamilan," lanjut Mark pelan, suaranya mengalun lembut di telinga Haechan. "Aku akan selalu di sisimu, Haechan. Aku akan cari semua cara, semua jalan... agar kau dan anak kita bisa selamat. Aku tidak akan pernah membiarkan kau melaluinya sendirian."

Haechan mengangguk pelan di dada Mark. Pelukan Mark begitu erat, begitu hangat, membuat Haechan tenggelam dalam rasa yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Untuk sesaat, dia hanya bisa diam di sana, terkubur dalam dada Mark, menyerap detak jantung lelaki itu yang stabil dan penuh keyakinan.

Lalu, suara Mark kembali terdengar, lembut dan mendalam, seakan bergema langsung ke dalam dadanya.

"Kau tidak sendirian, Haechan. Mulai dari sekarang... kalau kau ingin bermimpi tentang keluarga kecil kita, maka aku akan jadi tempat paling aman untukmu bermimpi. Aku akan pastikan tubuhmu kuat. Aku akan pastikan kau bahagia, dan bayi kita juga."

Haechan memejamkan mata, senyum perlahan merekah di wajahnya. Tangannya terangkat, memeluk leher Mark, dan dia bergumam pelan nyaris seperti bisikan, "Aku bahagia sekali mendengar itu... Aku takut, tapi... aku juga ingin sekali..."

Mark menurunkan wajahnya, menyentuh kening mereka satu sama lain. Nafas mereka beradu, hangat. Jarak mereka begitu dekat, seakan dunia di luar kamar itu tidak pernah ada.

"Apa yang kau inginkan, hm?" bisik Mark, ujung hidungnya menyentuh manja pipi Haechan. "Katakan padaku."

Haechan menggigit bibirnya pelan, pipinya merona, matanya mulai berkilau dengan kebahagiaan yang tumbuh perlahan.

"Aku ingin... kita punya satu kamar kecil yang penuh mainan," ucapnya pelan. "Yang dindingnya penuh gambar bintang dan planet... dan boneka dinosaurus di mana-mana. Lalu, tiap malam, aku bacain cerita buat anak kita sampai dia tidur. Kau akan duduk di lantai, sambil menyisir rambutku karena aku mengantuk, tapi anak kita belum tidur."

Mark tersenyum, suaranya rendah saat menjawab, "Aku akan beli semua buku cerita di toko. Dan setiap pagi, aku akan bangun lebih dulu untuk buatkan sarapan buat kalian berdua."

Haechan terkikik pelan. "Anak kita pasti nakal. Aku bisa rasa."

"Dia pasti mirip kau," balas Mark sambil mencium pipi Haechan. "Kecil, manja, dan keras kepala."

Haechan mendorong dada Mark pelan, malu, lalu terkekeh. Tapi matanya berkaca, bukan karena sedih, melainkan karena hatinya terasa terlalu penuh. Penuh cinta. Penuh harapan.

Mark menyentuh perut Haechan dengan tangan besar dan hangatnya, gerakan yang perlahan dan penuh makna. Ia tidak menekan, hanya menyentuh seolah menyapa kehidupan yang belum ada, namun begitu diimpikan.

"Aku akan jaga kalian berdua," ucapnya pelan. "Dengan seluruh hidupku."

Haechan menggenggam tangan Mark di atas perutnya, membenamkan wajahnya di leher Mark, lalu berbisik nyaris tanpa suara, "Kalau begitu, mari bermimpi bersama."

Mark hanya menjawab dengan satu ciuman panjang dan dalam di kening Haechan. Sebuah janji. Sebuah doa.

Dan malam itu, mereka tak banyak bicara lagi. Mereka hanya berpelukan di atas ranjang, tangan saling menggenggam, membayangkan masa depan yang mereka ciptakan bersama. Dalam hati masing-masing, ada ketakutan, tetapi juga keberanian. Ada risiko, tapi juga keyakinan.

Dan yang paling penting, ada cinta.

Cinta yang cukup besar untuk memeluk mimpi mereka... dan menjadikannya nyata.

— to be continued —
˚✧⋆ jangan lupa vote dan comment ya ˚✧⋆

HYPER DOMINANT CODEWhere stories live. Discover now