"Ada apa, Dimens? Kenapa kamu bersikap seperti orang kesetanan?"
"Pertalian itu terjadi secara alami karena alam dapat mengenalinya sebagai sepasang entitas utuh."
"Matra sedang dalam bahaya. Pa, kumohon, cepat, cepatlah keluarkan mobilmu."
Aku tidak bisa berhenti memukuli dasbor ataupun menendang interior mobil. Papa membisu sepanjang perjalanan. Dia pastilah masih marah pada Dimens dan sekarang ini Dimens bersikap luar biasa aneh. Papa merasa bingung, tapi Papa tetap mengikuti arahanku. Begitu mobil terparkir di depan gerbang, aku membuka pintu dan berlari melewati pos satpam, dipanggili Papa, tapi tak juga memelankan langkah.
"Kita bisa mempercayakan jiwa kita pada orang itu, di mana pun dia berada, tapi penanggungannya sulit sekali."
Aku membelok ke kanan, menaiki tangga di selasar untuk menuju lantai dua, sempat-sempatnya mengagumi tenaga Dimens. Ada matras yoga di kamarnya. Dia masih rutin berolahraga walau tak pernah keluar rumah. Di ujung tangga, aku membelok ke kiri dan berlari seperti terbang. Kelasku berada di ujung. Pintunya tertutup sekarang.
Aku menariknya ke arah luar.
Semua mata memandangiku, tapi mataku hanya tertuju ke satu titik. Kursiku kosong. Lindu, di sebelahnya, melongo melihatku.
"Kalau pertalian itu tidak begitu kuat, bisa saja terputus di tengah jalan."
"Maaf?" tanya Buk Cika. Dari tatapan waspada bercampur bingungnya, aku tahu aku kelihatan seperti apa sekarang— Bukan, bukan aku, tapi Dimens. Oh Tuhan, aku telah membuatnya malu.
"Itu kakaknya Matra!" teriak Liam, dan segera dibenarkan oleh anggukan Anggi. Mereka teman-teman SMP yang kebetulan sekelas denganku dulu dan sekarang. Aku meninju pintu kelas dan berlari di lorong. Saat sampai di ujung tangga, ada yang memanggilku.
"Dan orang yang menanggung jiwa kita itu bisa meninggal."
Meninggal. Aku meminjam raga Dimens saat ini, lantas di manakah jiwanya berada?
"Kakaknya Matra! Tunggu!" Lindu muncul dari balik pintu, berlari ke arahku dan menarik napas dalam-dalam. "Kenapa nomornya Matra nggak aktif? Aku memintanya menghubungiku kalau ada masalah."
"Dia ...," suara Dimens menjawab, "dia sedang dalam masalah. Dia sedang dalam bahaya, Lindu."
"Gimana ... apa Matra menceritakanku pada Kakak?"
Buk Cika keluar dari kelas, disusul wajah-wajah penasaran dari kelasku. Dan sekarang, ditambah lagi ada Papa yang muncul di bordes tangga. Kepala-kepala juga melongok dari sela jendela seluruh kelas. Aku menggeleng, pada mereka maupun pada Lindu.
"Dimens!" bentak Papa, nada suaranya penuh peringatan, nyaris terdengar murka.
"Sedang dalam bahaya kata Kakak tadi? Apa yang terjadi pada Matra, Kak?" tanya Lindu lagi.
"Kumohon, ikutlah bersamaku ke kelas Soma. Kita harus menemukannya."
"Soma?" tanyanya dengan nada menggantung.
Aku tidak lagi menjawab pertanyaannya dan segera bergegas menuruni tangga, menerobos tubuh tegap Papa sambil menunjukkan tatapan memelas. Kumohon, Pa, biarkan aku— Kami, anak-anakmu, jadi berandal sungguhan. Derap langkah di belakangku menandakan Lindu bersedia memenuhi permintaanku. Saat sampai di lantai satu, aku sempatkan menoleh ke belakang untuk melihat Papa termangu-mangu. Wajahnya kini berkerut gelisah dan aku pun tahu dia mulai mengerti bahwa aku— Dimens memang harus melakukan kenekatan ini. Aku dan Lindu kemudian berlari menyeberangi selasar, tapi kami tak perlu melanjutkan sampai ke gedung kelas sebelas karena dia ada di sana, berdiri di tengah-tengah ekor motor yang saling membelakangi, pada conblock yang disisakan sebagai jalur untuk menyeberangi lapangan.
Satpam berderap ke arahku. Aku berjalan menjauhinya dan bergerak menuju Soma. Soma juga melangkah maju. Lindu mengekor terlalu dekat di lenganku. Dia tidak tampak berbeda sedikit pun setelah mengantarkan seorang manusia untuk mati di Cincin Saturnus. Dia bisa saja mengasihani dan menjemputku di sana, seperti waktu dia menjemputku di hutan dekat pesisir pantai di Papua Nugini.
Tapi dia tidak melakukannya.
Aku menggerakkan tangan ke depan. Soma memperhatikannya. Saat sudah memulai, melakukan yang selanjutnya pun lebih mudah. Aku menyentuh kerah kemeja putihnya.
"Dia benar-benar mirip Semwel, Matra," ucap Soma, masih terpaku pada wajah Dimens. "Aku tak menyangka kamu begitu hebat dalam mencitrakan suatu dunia."
"Sebentar dulu, Pak. Biarkan masalah kami selesai," kata suara Lindu di belakangku.
"Tapi saya tidak akan membiarkan pihak asing mengganggu proses pembelajaran tanpa alasan yang masuk akal, apalagi dengan sikap tidak sopan. Ini sudah termasuk sikap kurang ajar."
Mataku terpejam. Langit hitam, bebatuan yang saling menubruk, dan Saturnus yang megah berkelebat dalam pelupuk mata. Di antaranya, hanya berupa barang tak berarti, bisa disetarakan dengan sampah luar angkasa yang juga mengorbit Bumi, tubuhku melayang-layang.
"Aku merasakan auramu," kata Soma. "Tapi benar juga, bagaimana bisa kamu muncul dalam tubuh kakakmu? Ah, beginikah dirimu? Pengecut, lari dari kematian ke dalam tubuh kakakmu? Tahukah kamu apa artinya bagi Dimens yang lemah? Tubuhnya yang penyakitan ini?"
Kalau pertalian itu tidak begitu kuat, bisa saja terputus di tengah jalan dan orang yang menanggung jiwa kita itu bisa meninggal.
"Begitu maut menjemputmu di Saturnus sana, kakakmu ini akan menyusulmu. Kamu membiarkan papamu yang kamu sayangi itu kehilangan kalian berdua sekaligus."
YOU ARE READING
Don't Make It a Wrong Place
Adventure"Kak Matra pikir aku bisa pulang kalau gak beli bensin di sini?" "Harus ... harus beli di sini?" "Iya, lah! Kalau beli di tempat lain, sama saja kayak buang-buang uang. Tangkinya akan terisi, tapi aku gak akan bisa pulang." "Memangnya kenapa? Rumah...
Wrong Soma
Start from the beginning
