Wrong Viewpoint

2 0 0
                                        

How could I deny when you come to me bringing the world's savor?


Gerbang besi tempa sekolah terbuka lebar. Motor-motor memasukinya seperti bah dari air terjun. Di antaranya, aku melihat Soma berdiri dengan tote bag besar, menyeringai padaku saat motorku mengantre untuk dapat giliran melewati gerbang dan parkir di lapangan. Dia berjalan ke arahku dan tiba-tiba saja jok belakangku telah menampung beban dua kali lipat lebih berat dari biasanya. Aku menoleh ke bawah. Sepatu hitamnya bergelantungan di sebelah ban.

"Papamu?"

"Nggak dimarahi," jawabku.

"Tapi memangnya papamu bakal marah? Karena kamu main seharian?"

Dia marah karena segalanya, Soma, asal kamu tahu aja. Karena aku mau kuliah di luar negeri. Karena aku nggak pernah mau menjenguk Dimens. Karena aku lebih memilih untuk keluar sama seorang teman daripada mengobrol sama kakakku sendiri. Karena aku meninggalkan motorku di minimarket, sementara aku menghilang entah ke mana. Karena dia merasa seharusnya bisa menjadi seorang ayah yang lebih baik lagi. "Papamu nggak akan marah kalau kamu main seharian?"

"Kenapa papaku mau marah? Papaku sibuk kerja. Paling-paling aku cuma dicari waktu ada acara keluarga yang penting. Waktu peranku sebagai anak kedua harus bisa melengkapi mereka."

"Dia orang yang supersibuk bekerja?" Aku mengendarai motor, membelok ke kanan, melangkah di atas motorku, sementara laki-laki berjaket biru dan merah di depan celingukan mencari kolom kosong.

"Lumayan sih. Tapi untuk apa juga kamu menginginkan dia selalu berada di dekatmu? Maksudku, setiap saat? Dia punya privasi dan kewajiban, sama sepertimu. Selama kalian menjaga kehangatan kalian tetap di batas wajar, kurasa keluarga mana pun akan tetap harmonis."

Harmonis. Bahkan saat keluarga itu kehilangan satu anggota. Dan nyaris satu lagi.

"Menyayanginya, bekerja dan menghasilkan uang untuk dirimu sendiri agar nanti kamu nggak lagi menyusahkannya," dia turun dari motor saat kami menemukan kolom kosong di dekat rimbun tanaman melati putih besar, "nggak masalah kalau kamu harus berpisah darinya sementara waktu, karena nanti akhirnya pasti begitu, dengan keluarga baru atau hidupmu sendiri. Jauh dari orang yang kamu sayangi nggak berarti kamu berhenti menyayanginya."

Aku menggantungkan helm abu-abu metalik ke kaca spion dan melihat Soma menunjuk kaca spion satunya. Aku pun menoleh dan melihat bahwa, walau tipis sekali, aku sedang menyunggingkan senyum pada refleksiku sendiri di cermin.

"Kamu menyetujuiku," katanya.

Aku mengangkat bahu lalu turun dari motor. Di sini kami harus berpisah. Soma lurus terus untuk mencapai gedungnya dan aku berputar untuk mendaki tangga ke lantai dua gedungku sendiri.

"Tahukah kamu, Kak Matra, ada tempat-tempat menarik yang benar-benar jauh dan indah sekali di luar sana?"

"Seperti desa-desa di Jepang? Aku lihat foto-foto yang tersebar di internet."

"Shirakawa-go atau Biei? Kamu tertarik sama desa-desa itu? Itu bisa masuk hitungan, tapi maksudku tempat-tempat indah yang bahkan seperti bukan-di-Bumi."

"Seperti desa indah di benua tak berujung milik Mars?"

Anehnya, Soma tampak serius waktu mengangguk, padahal yang tadi itu kumaksudkan untuk menggodanya saja. "Atau di planet-planet lain di luar Bima Sakti. Selama kamu mampu membayangkan tempat seperti apa itu, siapa saja yang tinggal di sana, bagaimana udaranya, apakah ramah untuk organ-organ manusia atau nggal, kita akan mendarat dengan aman di sana. Dan bahkan, bukan mustahil, berlibur di sana."

Don't Make It a Wrong PlaceWhere stories live. Discover now