I see no love can ever put you back to life
Tugas personal Sejarahku sudah rampung karena kukerjakan semalam suntuk. Aku sungguh ingin tahu reaksi Pak Seno saat kukumpulkan tugas ini di atas mejanya nanti pagi, jadi aku sungguh-sungguh melakukannya. Kerutan yang banyak sekali jumlahnya di dahi Pak Seno itu bertumpukan seperti lemak orang gendut yang berlipit ketika melihatku menghampiri mejanya sembari membawa lembaran double folio.
"Sudah selesai, Pak, ini tugas yang Bapak berikan kemarin hanya kepada saya."
Gigi Pak Seno gingsul dan kalau dia melongo begini, taringnya itu akan mengetuk bibir bawahnya yang kelihatan seperti bengkak. Dia menurunkan kacamata sejenak untuk memandangku dengan lebih serius. "Besok-besok jangan bengong lagi di kelas saya."
Aku tidak bisa janji. Siapa juga yang bisa saat pikirannya penuh dengan berbagai kemungkinan yang bisa dilakukannya di negara impian? Tapi aku tidak membiarkan Pak Seno mengetahui itu. Aku mengangguk saja sembari melangkah keluar kantor.
Aku tergoda untuk membawa diriku pergi ke gedung seberang. Dari antara enam pintu kelas dalam gedung itu, salah satunya adalah kelas Soma. Dia anak IPS, sedangkan palang deretan kelas di bawah menunjukkan IPA. Aku mendongak ke lantai atas dan seolah-olah memenuhi panggilanku, sepasang mata di balik kacamata berbingkai tipis membalas tatapanku. Seringai tersungging di bibirnya.
"Selesai?" teriaknya. Aku mengangguk. "Kita pergi besok?"
Besok? Kini aku mengernyit. "Kamu bilang kita bisa pergi hari ini juga."
"Pikirkan aja. Apa papamu bakal mengizinkanmu menginap dua malam berturut-turut?"
"Aku bisa beralasan tugasnya belum selesai!"
"Coba aja kalau gitu. Aku mau pergi hanya saat aku tahu situasinya mendukung."
Pembohong. Kubiarkan dia melihat penentanganku lewat bibir mengerucut dan tatapan tajam. Tapi Soma tidak terganggu, dia tak pernah terganggu oleh apa pun. Dia mengangkat bahu dan berbalik, pergi dari balkon tempat kepalanya melongok ke bawah.
Malam di rumah kuhabiskan dengan berselancar di internet, mencari tahu tentang teleportasi dan kelengkapan bahan bakar yang dipergunakan—jika memang teleportasi butuh bahan bakar. Untung saja aku pernah belajar IPA waktu SMP dan Dimens itu penggila sains yang senang berbagi ilmu denganku, tidak terbayang kalau harus memahami istilah-istilah rumit seperti ini dalam waktu semalam. Tapi berbagai artikel ataupun jurnal menyebutkan dengan sangat jelas bahwa teleportasi mungkin saja terjadi, tapi hanya pada tingkat subatomik, seperti foton, elektron, dan partikel-partikel teramat-sangat-kecil di alam semesta.
Tapi aku dan Soma kan sebesar klaster galaksi kalau dibandingkan dengan foton atau elektron? Bagaimana bisa kami berpindah tempat tanpa harus memenuhi syarat-syarat sains tertentu? Di sini tertulis saintis percaya bahwa teleportasi yang sempurna bahkan tidak memungkinkan juga untuk skala subatomik.
Wah, wah, apa yang akan para saintis katakan kalau kuserahkan Soma ke lab mereka?
Aku menggeletakkan ponsel di sebelahku di atas selimut yang terpuntir-puntir di kasur berwarna biru langit malam. Di atas kamar ini, hidup seorang laki-laki yang mengunci diri sendiri dalam kamarnya. Bagaimana kalau aku bisa menawarkan solusi seindah dan sepraktis ini padanya? Kak Dim, percayalah padaku, aku kenal orang ini, yang punya kemampuan super untuk membawamu pergi ke segala tempat yang ingin kamu kunjungi. Tanpa ... kamu tahu? Tanpa harus keluar dari rumah ini dan dipandangi tetangga-tetanggamu. Kamu cuma perlu memintaku mengisi bensin motormu lalu ... tiba di tempat tujuanmu.
VOCÊ ESTÁ LENDO
Don't Make It a Wrong Place
Aventura"Kak Matra pikir aku bisa pulang kalau gak beli bensin di sini?" "Harus ... harus beli di sini?" "Iya, lah! Kalau beli di tempat lain, sama saja kayak buang-buang uang. Tangkinya akan terisi, tapi aku gak akan bisa pulang." "Memangnya kenapa? Rumah...
