Wrong Soma

3 0 0
                                        

I've committed an unforgivable sin


Aku membuka mata.

Didera perasaan dari masa lalu. Dikejar nostalgia merasa telah tiba di suatu tempat setelah melakukan perjalanan yang kupersiapkan sejak jauh-jauh hari. Perjalanan yang kunantikan. Perjalanan yang pantas untuk dinanti.

Langit-langit ruangan berwarna putih bersih. Lampu yang menggantung di tengah-tengah ruangan dikelilingi tudung hitam tipis. Lampu itu padam. Aku mengerjapkan mata dan meremas kain lembut di bawah tubuh. Bau lemon dan dedaunan menyelinap di antara bau kertas. Aku menendang untuk bisa duduk. Di depanku terpasang tapestri bulat besar yang menyerupai kemudi kayu kapal, tapi setengah bagiannya tertutup rak buku. Ada banyak sekali buku, ditata dengan rapi. Aku mengayunkan kaki ke bawah. Kakiku besar dan agak berbulu. Ada gelas silinder dengan sisa seperempat air yang sepertinya kuletakkan secara sembarangan dekat bagian bawah nakas semalam.

Aku berdiri di atas karpet katun hitam dan menekan punggung dengan telapak tangan. Badanku rasanya remuk redam. Rak buku itu begitu mengundang karena aku merasa pernah melihatnya. Aku mengulurkan tangan untuk menelusuri punggung-punggung buku itu.

Lalu aku menyadarinya. Kaki besar dan agak berbulu. Dan tangan ini ... aku membolak-balik kedua telapak tangan. Tangan itu bukan milikku. Berjari panjang, berujung kotak, pucat, dan sendi bertonjolan di pergelangannya. Aku menarik tangan dan mengguncang-guncangnya, berharap hanya salah lihat. Tapi aku tidak salah.

Aku menoleh ke bawah dan melihat kaus putih besar yang berpotongan rata di atas celana parasut hitam pendek. Dari pipa celana, kaki berbuluku tampak. Aku langsung menjerit dan seketika membungkam mulut.

Itu juga bukan suaraku.

Aku segera melihat ke sekeliling ruangan dan menemukan cermin di sebuah lemari yang berada di dinding pintu. Aku berlari ke sana untuk melihat apa sebenarnya yang salah.

Semuanya. Semua hal sangat salah.

Dimens balas memandangku di cermin. Aku berkedip, merasakan seluruh rambut di kulit tanganku meremang. Segera saja perasaan yang sungguh salah menerjangku. Gagang pintu kamar bergerak naik turun. Daun pintu diketuk.

"Dimens? Dimens, ada apa?"

Aku mengusap wajah dan sekali lagi menoleh ke cermin. Ada sesuatu yang salah. Benar-benar salah sampai membuatku merinding. Aku memutar kunci dan membuka pintu. Buk Laras memandangiku dengan nanar. "Ada apa? Kenapa kamu berteriak?"

"Buk ... Ib— Ibu lihat Matra?" tanyaku pelan-pelan.

"Matra? Matra pasti sudah berada di sekolahnya sekarang. Ini sudah jam delapan."

Jam delapan. Gemuruh yang familier kini menggelegar dalam jantungku. Gemuruh yang baru saja kudengar tiada henti beberapa jam lalu. Atau baru saja kudengar.

Aku segera memelesat ke arah tangga. Buk Laras berteriak di belakangku dan karena yakin dia tak sanggup mengejarku, dia memanggili Papa. Di bawah, aku menabrak bahu Papa hingga dia terjungkal menabrak pintu kamarku. "Pa, maaf, ada yang harus kuselesaikan. Maaf. Tolong bangunlah."

Aku berlari ke luar rumah, memaki ketika tidak mendapati motorku terparkir di garasi. Semalam motor itu kugunakan untuk pergi ke pom bensin di Jalan Kamboja Merah bersama Soma setelah menemuinya di titik temu kami, minimarket.

Aku harus memastikan bahwa tubuhku sedang berada di sekolah, bahwa aku sedang belajar di kelas, duduk di sebelah Lindu. Bahwa aku tak pernah sekarat di Cincin Saturnus.

"Ada sistem pertalian batin yang bisa terjadi di antara dua orang atau lebih."

Aku hendak masuk kembali ke rumah dan bermaksud meminjam mobil Papa, tapi Papa sudah keluar dari pintu. "Pa, Pa, tolong, antar aku ke sekolahku. Maksudku sekolah Matra. Ini penting sekali, kumohon."

Don't Make It a Wrong PlaceWhere stories live. Discover now