It's a breathtaking sunrise we watch at Janiculum Hills that will last forever in my eyes
Perjalanan kami kali ini berbeda. Berangkat pukul tujuh pagi membawa kami sampai di Roma pukul dua malam. Hari sama-sama telah berganti, tetapi kegiatan penduduknya jauh berbeda. Berlaku aneh sekali saja di negara orang dan kata-kata Soma mungkin akan terwujud. Salju terhampar seperti bubuk deterjen di jalanan dekat Colosseum. Pohon-pohon meringkuk di bawah hamparan salju itu, kelihatan setengah tangguh dan setengah bingung.
"Sini," kata Soma. "Aku tahu penginapan yang ramah untuk kantong kita."
"Euromu masih?" tanyaku sambil meraba uang dari mantel hitamku. Aku punya 500 ribu rupiah dari tabungan dan menumpuk utang pada Soma terasa semakin mengganjal sekarang.
"Masih." Dia menoleh ke belakang di waktu yang tepat saat aku mengeluarkan lembaran uang seratus ribu. Matanya yang datar jadi makin datar lagi; tadi sedatar aspal, sekarang sedatar penggaris. "Simpan itu, sudah kubilang berulang kali."
"Aku nggak mau berutang padamu, Soma. Pada semua orang, pada siapa pun," jawabku ketus. Kami terpisah sekitar satu meter. Dia mulai berhenti melangkah dan menghela napas dalam-dalam. Uap putih mengepul, melengkung dan menggulung-gulung ke belakang. Rambutnya hitam sekali di bawah langit berawan tebal, disandingkan dengan latar dinding krim kecokelatan Colosseum.
"Ya, tapi utangmu bukan lagi soal uang sekarang."
"Apa?"
"Kamu bayangkan aja. Kita melakukan perjalanan ini, yang sangat mustahil di nalar manusia lain. Tanpa pesawat, tanpa sayap, tanpa melewatkan waktu barang semenit pun. Menurutmu, uangkah yang sanggup membayarnya?"
Begitu pula dengan biaya pom bensin itu. "Maka?"
Dia kukuh sekali. Red Cliff hampir kalah teguh dibanding Soma. Wajahnya yang oval dan berdagu lancip jadi tampak tegang sekaligus jengkel. "Perjalanan inilah harganya."
"Apa?"
Dia berdecak sambil melengoskan pandang. "Bisakah kita membicarakannya di dekat tungku api? Atau paling tidak di kamar yang hangat?"
Ketika Soma mengatakannya, tubuhku seolah langsung mengingatnya. Lutut, siku, pergelangan tangan, semua persendian terasa mengerut karena ngilu. Bahuku pun ikut gemetar dan uap napasku juga menebal. "Baiklah."
Kami mendapatkan kamar di salah satu hotel dekat Colosseum. Besok kami harus pulang sebelum pukul 12 siang di Roma, karena itulah jam pulangku dari kegiatan sukarelawan di Jawa. Satu kamar dengan dua kasur berjarak sekitar tiga meter. Aku melihat-lihat postingan live report Duggan, remaja perempuan langsing berambut pirang yang merasa keren karena dia bisa melakukan beat box, di media sosial. Dia membagikan foto-foto briefing kegiatan sukarelawan di pondok dekat dapur paviliun Blindly Taste. Aku mengenal Duggan waktu dia meminta izin merekamku mencincang bawang bombai untuk ayam saus asam manis. Dia sukarelawan di bidang publikasi.
Pintu kamar mandi terbuka. Aku menodong Soma dengan tatapan tajam. Dia melirikku sambil mengusapkan handuk ke setiap inci wajah. Sweter rajut belang-belang dan jaket kulit kuning kenari telah dilepas dan diletakkannya di gantungan lemari. Dia mendekatiku lalu berhenti di ruang antara kasur kami sambil menyilangkan tangan. "Perjalanan denganmu ini, Kak Matra, yang telah memberiku energi untuk dikonversi menjadi seluruh mata uang yang kita butuhkan untuk seluruh perjalanan kita."
Aku meletakkan kedua siku di lutut dan menatapnya dengan dahi menegang. "Kamu berharap aku langsung memahaminya? Apa orang lain terbiasa langsung memahami penjelasanmu?"
Soma tidak bergerak beberapa saat. "Melakukan perjalanan dengan orang-orang yang bisa kulihat auranya membuatku diganjar oleh suatu energi. Energi itu bisa membuatku memburu logam atau batuan mulia yang tersedia di seluruh semesta, yang kemudian bisa kujual di Bumi dengan sertifikat buatan ibuku. Dia bekerja di laboratorium gemologi terakreditasi—dia tahu caranya menerbitkan sertifikat batu mulia. Aku kaya, Kak Matra, luar biasa kaya. Apalagi keluargaku. Kalau kamu harus mengganti sesuatu, bukan uang yang kumau, melainkan perjalanan lainnya."
Perlu waktu lebih dari semenit untuk memahaminya dan yang jelas dicerna otakku adalah dia luar biasa kaya. "Kalau ... bukan harta lagi yang kamu cari di dunia ini, lantas ...?"
"Perjalanan. Tempat tujuan lain. Alam semesta ini semakin melar, kalau kamu mempelajari fisika, seperti balon yang ditiup. Makin besar, makin renggang, makin luas. Akan ada saat ketika kita berpisah, dalam hatimu kamu pasti telah mengetahuinya. Dan saat itu terjadi, kamu juga pasti tahu perjalanan bagimu telah berakhir, tapi tidak bagiku, Kak Matra. Aku akan tetap berkelana, pergi ke tempat-tempat jauh. Ke mana pun yang kumau."
"Ke alam semesta? Ke ... tempat yang sangat jauh? Apa bensin di pom itu cukup untuk membawamu ke sana?"
Dia mengangguk dengan tegas, seolah-olah sedang melakukan dakwaan padaku dan sekarang ini kami sedang menghadiri pengadilan bukannya bincang-bincang aneh di sebuah kamar hotel di Roma. "Kamu hanya harus tahu bahwa unsur pembentuk sesuatu nggak selalu seperti yang pernah kamu bayangkan atau yang kamu pikir kamu pahami."
Kalau sudah membicarakan soal sains atau filsafat, aku menyerah. Yang ada di pikiranku sekarang adalah dan kapan itu? Waktu kita berpisah? Aku ingin menanyakannya, tapi hatiku seolah menciut. Berpisah dengannya berarti ... seperti yang dia katakan tadi. Dan saat itu terjadi, kamu juga pasti tahu perjalanan bagimu telah berakhir. Perjalanan berakhir. Tidak ada lagi salju, gang sempit di Galway, langit malam di Colosseum, dan kemungkinan-kemungkinan menjelajahi eksoplanet.
Aku menendang lepas sepatu bot dan melepaskan jaket biru tua yang kukenakan di dalam mantel lalu melangkah ke kamar mandi.
"Bangun pukul setengah lima, ingat, kan?"
"Hm," sahutku sambil menutup pintu kamar mandi.
Suara itu berbentuk spiral dan aku berusaha mengingat wujudnya. Tapi sungguh membingungkan. Apakah selama ini suara ternyata berwujud? Kalau tidak, kenapa aku tahu suara itu begitu mengganggu? Berdenging seolah dia mengira telingaku ini hanya setengah berfungsi sehingga dia terus-terusan memukulnya mundur dengan denting berisiknya.
"Kak Matra, bangunlah. Alarmmu sudah bunyi sejak 15 menit lalu."
Mataku berkedut dan rasanya perih sekali, seperti ada yang menebar pasir ke balik pelupuk. Bahuku lalu ditepuk berulang kali. "Ayo, ayo, cuci mukamu. Kita jalan sekarang, kamu bilang mau lihat matahari terbit di Gianicolo, kan? Kita harus mulai jalan sekarang juga."
Perjalanannya makan waktu kurang lebih 40 menit. Subuh, gundukan salju, angin menusuk. Semua ini terbayar ketika kami berdiri di Bukit Janiculum, memandangi genangan kuning cahaya matahari di balik awan tipis di atas Kota Roma. Bangunan beratap kubah, bangunan bata tinggi, perpaduan antara arsitektur Roma dan matahari terbit. Lalu ada aku yang kedinginan tapi merasa segar dan jauh lebih hidup daripada empat jam terakhir.
"Gimana menurutmu matahari? Bensin bisa membuatmu mendarat di sana, kan?" Aku memaksudkannya untuk bercanda karena masih terpukau oleh keindahan sumber energi terbesar yang dimiliki Bumi. Tapi kemudian Soma menjawabnya dengan nada serius yang sangat Soma.
"Bisa, tapi aku selalu menghindar mendarat di bintang. Karena, apa yang bisa kunikmati di sana? Reaksi fusi? Atau bintik hitamnya yang relatif lebih dingin daripada permukaan di sekitarnya? Bintang nggak terlalu ramah."
YOU ARE READING
Don't Make It a Wrong Place
Adventure"Kak Matra pikir aku bisa pulang kalau gak beli bensin di sini?" "Harus ... harus beli di sini?" "Iya, lah! Kalau beli di tempat lain, sama saja kayak buang-buang uang. Tangkinya akan terisi, tapi aku gak akan bisa pulang." "Memangnya kenapa? Rumah...
