Wrong Belief

3 0 0
                                        

Sing me lullaby


"Nggak bisa membatalkannya? Kenapa?"

Soma berputar ke arahku. Langit di belakangnya, aku tidak memperhatikannya sebelum ini, mendung. Langit bulan Maret yang seharusnya cerah malam ini kembali menampilkan awan tebal, membuat bumi tampak gelap. Kilat meledak di dalam awan, menerangi secercah wilayah. Gemuruh menyusul setelahnya.

"Karena setelah menyampaikan bahwa kamu bersedia menerima Tapas sebagai rumah barumu oleh karena kamu muak pada keluargamu, aku telah mengisap habis seluruh kehendakmu, Kak Matra. Itulah mengapa sejak awal aku selalu menanyai alasanmu ingin pergi meninggalkan rumahmu, kamu harus mengatakannya dan mengetahui dengan pasti tempat yang ingin kamu tuju selanjutnya, yang akan kamu jadikan rumah barumu. Karena aku tidak akan mampu mengisap apa pun yang tidak kamu keluarkan dari mulutmu."

Angin dingin mencapai kulitku, pertanda badai besar telah mendekat, berjanji akan meluluhlantakkan apa pun yang ditemuinya. Di jalan besar, dedaunan pohon palem di pot pembatas berkelepak sampai terjungkir. Orang-orang yang mengendarai motor mengecek lampu lalu lintas berulang kali selagi kaki mereka menepuk-nepuk aspal, menunggu lampu berubah jadi hijau.

"Mengisap kehendakku? Maksudmu, aku nggak bisa lagi memenuhi keinginanku sendiri? Tapi tadi aku baru saja memasak bersama kakakku, dan itu jelas-jelas kulalukan berdasarkan keinginanku sendiri."

"Karena aku mengizinkanmu melakukannya," koreksinya. Satu langkah kakinya kuhadiahi satu langkah mundur kakiku. Kami mengitari motor dan aku penasaran tentang kebenaran kata-katanya tentang pom ini memilih orang-orang yang mereka inginkan sehingga sisanya tidak bisa melihat bahwa pom ini terbuka alih-alih jalan masuknya dipalangi seng.

"Kamu pikir, semua yang kulakukan ini gratis, begitu istilahmu, kan? Aku membayarimu, tapi di akhir, kamu juga harus membayarnya, Kak Matra.

"Kak Matra? Apakah aku masih harus berperan sebagai adik kelasmu yang baik dan mematuhi semua keinginanmu? Sepertinya kamu akan lebih nyaman kalau kita membiarkan apa pun tetap pada tempatnya, berpura-pura tidak merasakan adanya perubahan." Hawa di sekelilingku sedingin es. Aku mengingat es teh boba Lindu yang mencair saat kami menongkrong di taman skate. Dan secara ganjil berharap Lindu punya kekuatan merasa seperti Soma. Napasku tercekat di tenggorokan sewaktu kusadari aku hanya mengharapkan sesuatu yang mustahil.

"Aku pernah bilang padamu, aku mendapatkan bayaran dari memandu perjalananmu, bukan? Semua jawaban yang pernah kuberikan, tak ada satu pun yang merupakan kebohongan. Aku orang yang jujur. Untuk setiap kehendakmu bepergian, aku mendapatkan bayaran kecil darinya, membuatku mampu menabung energi untuk menjelajahi semesta yang seolah tak bertepi bagi makhluk tak berdaya sepertimu, seperti manusia lainnya."

"Kamu juga manusia. Berhenti bicara seolah-olah kamu bukan manusia," potongku, menyentuh kepala motornya, diam-diam melirik jalan masuk yang terbuka lebar di sebelahku.

"Rugi, Kak Matra. Tidak, kamu tidak akan punya kesempatan untuk berlari ke arah mana pun. Kalau aku mau kamu diam di sini, tempat ini akan mengurungmu." Aku melirik ke arah para pegawai yang kini mendongak memandangi kami. Seorang laki-laki di bagian SOLAR dan perempuan yang tadi mengisi bensin motor kami.

Akhirnya, aku melihat wajah mereka sepenuhnya.

Napas berkejaran di dada. Aku menelan ludah, yang terasa sepadat kerikil.

Mata mereka berpijar semerah rintik api pada rokok. "Lux ... luxvux," kataku di tengah-tengah napas pendek dan menusuk dada.

"Kami berkelana dan terus berkelana, Kak Matra, berusaha menemukan rumah untuk kelompok kami. Kami tak pernah berhenti bahkan sekalipun kami tiba di Klon-2990 tanpa pernah menyadarinya. Dan kamu benar, kami juga tidak berhenti sampai hari ini. Kami menyebut diri kami sebagai Paricakra. Alam menerima kami sebagai bagian dari mereka karena kami telah berkelana lebih jauh dan lama dari siapa pun di semesta.

Don't Make It a Wrong PlaceDonde viven las historias. Descúbrelo ahora