There he comes from nowhere
Tidak ada yang baru di semester ini, kecuali cuaca menjadi lebih hangat. Memasuki Februari, langit kelabu menyingkir dan memberi ruang pada angkasa biru serta sulur awan tipis. Angin yang berembus masih terasa sejuk di kulit, tapi tidak menusuk sengit seperti akhir tahun. Aku masih duduk dengan Lindu yang gemar tidur di sela-sela jam pelajaran. Baru-baru ini dia membawa stik es krim dan lidi dalam ember kecil, lengkap dengan lem kayu usap dan pemotong. Dia mengontruksi sesuatu yang kelihatan seperti lorong di atas mejanya pada jam istirahat.
Soma menghampiri kelasku. Waktunya bersamaan dengan Lindu mengangkat ember perkakasnya ke atas meja. "Setiap dia ke sini, kamu nggak pernah bawa bekal nasimu." Tiba-tiba Lindu berkomentar.
"Kami biasa makan bersama di kantin." Dengan berbagai makanan yang Soma bawakan dari luar negeri. Dia bisa menjelajah ke mana pun yang dia suka kapan pun.
Aku pun melangkah keluar, agak terkejut karena Lindu juga mengangkat tangkai embernya keluar. Kami berpisah di dekat ember sampah plastik di belakang pintu kelas yang terbuka. Aku berdiri di sebelah Soma di terali pembatas, sementara Lindu celingak-celinguk mencari sesuatu. Akhirnya dia menyeret kursi di meja terpojok, yang paling dekat dengan pintu, kursinya Meria. "Pinjam sebentar," katanya sambil lalu pada meja yang kosong karena Meria sepertinya beristirahat di kantin. Duduk di kursi itu, dia kemudian memotongi lidi berbagai ukuran dan stik es krim yang telah digambari. Bekas potongan jatuh di atas ember sampah.
"Sudah membayangkan dunia selanjutnya?" bisik Soma. Dia hanya menatapku, tapi dari caranya berdiri tegap menghadap pintu kelas, aku tahu dia sedang mengawasi Lindu.
Aku mengangguk. "Nanti kamu akan lihat, aku mulai suka membaurkan warna."
Seandainya Soma hari itu tidak menginterupsi percakapanku dengan Pak Gibran, aku tak akan mungkin mengetahui tempat-tempat indah di dalam Bumi maupun di luarnya. Aku tidak akan tahu ada opsi lain untuk bertualang selain mengandalkan alat angkut baja bersayap. Bensin begitu praktis, menawarkan kemungkinan beradaptasi di lingkungan baru tanpa harus mengenakan baju ruang angkasa yang besar dan panas.
"Kita makan? Aku bawa escargot dan macaron, kita nggak sempat menyantapnya waktu berkunjung ke Prancis, kan? Aku sempat lupa waktu kamu tanyai rekomendasi makanan di sana."
Awalnya aku menyarankan agar kami langsung mengunjungi Menara Eiffel saja karena aku benar-benar penasaran bagaimana rasanya masuk ke landmark negara yang sangat terkenal itu. Tapi Soma memintaku bersabar, dia menawariku untuk mengunjungi Menara Eiffel pada malam hari agar kami bisa memandangi keindahan lampu-lampu bangunan dan laju kehidupan di Paris. Kita bisa pulang ke Jawa dari sana, katanya waktu itu, berdiri di puncak dan menunggu bensin habis, biar sajalah sekali-kali kita buat heboh penjaga-penjaga di sana yang menunggu kita keluar dari menara. Siang itu kami mengelilingi Musée du Louvre untuk melihat-lihat mahakarya para seniman Prancis yang tersohor. Setelahnya, kami berburu pâtisserie dan ketika sore turun, kami memesan tiket kapal wisata Sungai Seine untuk meringkas pemandangan kemegahan Paris.
Seandainya saja aku punya kesempatan untuk kembali lagi ke sana tanpa beli tiket pesawat.
Aku dan Soma menghabiskan waktu istirahat di kantin. Menyantap sarapan sambil mengobrol tentang cara mengolah escargot, di mana mereka mengumpulkan siput itu, dan membandingkannya dengan olahan siput dari seluruh dunia. Bel berbunyi. Aku mendaki tangga ke kelasku dan menemukan Lindu masih duduk di kursi yang dia seret ke depan pintu. Dia melirikku di ujung tangga dan kelihatannya menungguku mendekatinya. Lindu lalu menurunkan cutter bertangkai kayu dan bangun dari kursi.
YOU ARE READING
Don't Make It a Wrong Place
Adventure"Kak Matra pikir aku bisa pulang kalau gak beli bensin di sini?" "Harus ... harus beli di sini?" "Iya, lah! Kalau beli di tempat lain, sama saja kayak buang-buang uang. Tangkinya akan terisi, tapi aku gak akan bisa pulang." "Memangnya kenapa? Rumah...
