Wrong Mistake

3 0 0
                                        

Regret made you suffocate, until you thought you deserve an exile


Keesokan paginya, aku berangkat ke sekolah dengan Mily. Papanya memaksa agar kami bersedia dia antar dengan mobilnya, jadi aku sama sekali tak berdaya menolak. Penolakan pertamaku langsung disambut gelengan kebapakan yang meruntuhkan pertahanan. Mobil keluarga Mily berbau segar, seperti air terjun di tengah-tengah hutan. Perasaanku waswas, Soma dan kemarahannya bisa saja sudah menungguku di gerbang sekolah yang terlipat ke dalam. Tapi begitu kami tiba, arus macet motor mengalir seperti biasa tanpa kehadiran Soma.

Aku mengembuskan napas lega dan langsung merasa heran. Bagaimana bisa hanya dalam waktu semalam orang yang keberadaannya paling kuinginkan bisa berubah jadi paling kutakutkan?

Duggan mengirimiku pesan semalam, waktu aku dan Mily sudah berbaring di kasur empuknya yang berwarna putih kekuningan, seperti sinar matahari pukul sembilan pagi. Everything's okay? katanya. Kubalas dengan kalimat yang sama percis tanpa tanda tanya. Dan dia mengirimiku emotikon senyum.

Lindu tidur lagi di pelajaran Penjaskes teori. Tapi begitu bel berbunyi, tubuhnya menegak. Pipinya digoresi cekungan dan garis di meja. Dia mengusap wajah yang berminyak dan mengacak-acak rambut cepak yang mulai memanjang. "Kantin?" tawarnya padaku.

"Nggak ada proyek untuk digarap?"

"Ada yang untuk ditunggu hasil rapatnya. Sementara ini otakku vakum. Ayo!" Dia lalu melangkah lebar-lebar ke pintu kelas, seperti preman yang memimpin anggota gengnya. Dan kusadari, akulah anggotanya itu.

Mily menyandungnya dan Denta langsung terbahak-bahak ketika Lindu tersentak ke depan, tapi untungnya tidak sampai terjengkang. "Makanya, kalau jalan itu sesuai ukuran kaki saja!" Mily memarahi.

Lindu cuma memelototi Mily. Dia menolehku lalu menyundulkan wajah ke arah pintu. Aku mengikuti di belakangnya dan saat kami berada di lorong, aku tertawa sampai memegangi perut dan menepuk-nepuk dinding kelas lain.

"Menyandung, tapi memarahi." Dia mengomel sepanjang jalan. Mataku berair. Aku sampai harus selalu mengusapnya.

Kami duduk di dekat tangga menuju lantai dua yang memuat deretan ruang kelas 12. Jauh dari meja favoritku dan Soma di pojok sana. Aku menyapukan pandang ke sana dan kembali mengembuskan napas panjang saat tidak menemukan Soma. Lindu memesan nasi bungkus 5000-an untuk kami. Sudah lama aku tidak makan masakan kantin. Biasanya Soma akan memesan bakso setiap kali aku menghabiskan makanan yang dia bawa sepulang dari perjalanannya di malam hari. Atau kadang aku makan bekal masakan Buk Laras.

Makan berhadapan seperti ini dengan teman sekelasku membuatku merasa diterima di tengah lingkungan. Kakakku terjangkit HIV, tapi dia bukan penderita AIDS. Dan aku tidak berbahaya, seperti kata Lindu. Aku ingin seperti itu. Kini aku merasa begitu.

"Masih ada masalah inter? Menginap lagi saja di rumah Mily," saran Lindu. Dia mengunyah nasi dan suwiran ayam pedas sambil menungguku menjawab.

Aku pun akan merepotkan keluarga Mily sungguhan. Kebohongan lainnya yang akan segera menjadi kenyataan. "Nanti kupikirkan lagi."

"Mily pasti akan memaksamu, paling dia akan mengundang Denta juga supaya bisa mengadakan pesta piyama boneka beruang."

Aku kembali tertawa, padahal baru saja menyuap nasi. Buru-buru aku mengunyah sampai halus lalu menelan. Kupelototi Lindu, tapi tak sanggup memarahinya karena aku sudah kembali terpingkal. Timbul pertanyaan yang menusuk ulu hatiku. Apakah kamu pernah seceria ini saat bersama Soma? Pernah, pasti aku pernah mengalami masa-masa seperti ini. Pertemananku dan Soma hanya sudah terasa seperti saudara. Kami tak harus selalu menertawakan sesuatu, kan? Kami hanya harus tertawa sesuai porsi, seperti kata Mily. Melangkah sesuai ukuran kaki.

Don't Make It a Wrong PlaceDonde viven las historias. Descúbrelo ahora