Wrong Deportment

3 0 0
                                        

I'm drifting away as if these are all just wonderful dreams


"... ngun, kita akan berangkat. Kak Matra, bangun. Kak Matra? Kak?" Pipiku ditepuk-tepuk, makin lama makin kuat. Aku bisa merasakan ritmenya yang tak beraturan dan langsung tidak menyukainya. "Setengah menit lagi," kata seseorang.

Aku menegakkan leher dan menjauhkan tubuhku yang entah bagaimana condong ke arahnya tadi. Lalu aku menoleh ke depan, ke tempat rerumputan hitam menghampar dikelilingi pepohonan jenis runjung. Kilau-kilau putih di rumput berasal dari bulan yang hampir mencapai siklus puncak purnama.

"Sekarang," kata Soma.

Mataku terpejam tanpa kuinginkan. Pengurangan bebannya terasa seperti jika organ tubuhku dipreteli satu per satu hingga menyisakan jalinan atom yang tidak terlalu rapat. Kepalaku melepas segala tekanan yang menumpuk di sana, bahkan kotoran telinga pun seolah terpental keluar. Sampai rasa kebas menjalar sekejap di seluruh tubuh sebelum aku menyadari ada sesuatu yang menempeli bokongku—ini, aku duduk di atas sesuatu. Aku meraba-raba ke belakang tubuh dan tanganku mengenai suatu permukaan yang dingin.

"Ayo, waktunya tepat untuk berangkat ke sekolah. Kita harus ganti baju."

Bau pagi, sejuk dan damai terendus oleh hidungku. Mataku terbuka. DILARANG MASUK KE AREA INI SELAIN PETUGAS. Palang peringatan di sebelah palang dilarang memotret dan lain-lain yang ada di pom bensin. Di sebelahku, Soma baru saja menutup kembali jok motornya.

"Kak Matra, baiknya kamu bergegas!"

Barulah aku sadar sepenuhnya. Inggris! Tadi itu aku masih sempat terduduk di sana sebelum kembali ke pom bensin ini. Dan sekarang aku harus segera berangkat ke sekolah. Kini Soma berlari-lari ke gedung di sebelah kanan. Buntalan pakaian dipeluknya dengan erat. Aku segera mengikuti langkahnya.

Kami tiba di sekolah pukul 07.12, tertawa-tawa dan tidak sedikit pun takut terlambat. Karena aku sudah melihat bagaimana jadinya kehidupanku di masa depan seandainya aku mewujudkan mimpi berkuliah di Inggris. Bangun pagi, makan roti isi dan minum kopi, mengemasi buku-buku tebal sesuai jadwal, memakai mantel dan sweter di musim dingin, berjalan di antara ratusan orang sibuk lainnya menuju kampus, bergabung dalam komunitas, melakukan penelitian dan menyumbang jurnal kesehatan global, mendengarkan para profesor menjabarkan materi, menggarap tugas di perpustakaan, menyantap roti isi lagi sebagai makan siang di kafe kampus, mengobrol dengan teman-teman dari berbagai negara di dunia, lalu pulang, makan kukis oatmeal kismis dengan segelas teh hitam hangat, bergelung dalam selimut tebal di kasur pojok dalam apartemenku yang berwarna tajam tapi menenangkan.

"Matra! Sebutkan kembali perang yang terjadi di tahun 1600-an."

Pertama kudengar, rasanya sungguh aneh menyatukan namaku dengan perang dan di tahun 1600. Adakah seorang Matra yang hidup dalam rentang tahun 1600-1700? Dan apakah dia bergabung dalam perang atau dia memilih untuk bersembunyi saja? Seberapa persen kemiripannya dengan para pejuang wanita yang tak kenal takut di luaran sana? Seperti Cut Nyak Dien atau Martha Christina Tiahahu.

"Matra? Kamu dengar Bapak?"

Barulah aku sadar bahwa saat ini aku sedang mengikuti kelas Sejarah dan ada seorang guru yang bertanya padaku. "Iya, Pak?"

Teman di sebelahku berbisik tanpa menggerakkan kepala. "Katanya, perang apa saja yang terjadi di tahun 1600-an?"

"Apa saja?" Aku bertanya balik padanya, tapi sepertinya terlalu keras karena ada suara tawa tertahan dari seisi kelas. Aku melirik sekeliling dan mereka yang memandangiku buru-buru memutar punggung kembali, masih dengan tangan menutup mulut masing-masing.

Don't Make It a Wrong PlaceWhere stories live. Discover now