Wrong Encounter

11 1 3
                                        

Trapped in an obligation though I'm not a good sib


Bunyi klakson bersahut-sahutan menarikku kembali pada kenyataan. Jalan bypass mulai tampak tajam dan punya warna yang vibrant. Aku segera menarik gas dan melaju melewati lampu lalu lintas yang kini berwarna hijau.

Liburan semester genap sebulan penuh lamanya. Kalau tidak segera menemukan kegiatan yang bisa membuatku secara rutin meninggalkan rumah seperti sekolah, Papa dan Buk Laras pasti akan membujukku secara halus untuk menemui Kak Dimens di kamarnya, yang tersambung ke teras lantai dua seluas tiga truk. Kamarnya terisolasi dari area lain di lantai dua, tapi teras itu punya pintu kisi kayu yang bisa digeser dari arah tangga. Pembatasnya berupa papan kaca. Dari sana Kak Dimens bisa menikmati kehijauan tanaman rambat yang menggantung ke bawah dari balkon putih bersihnya.

Kalau saja Kak Dimens masih bisa menikmati kehijauan atau keindahan apa pun yang dihadiahkan alam.

Bagaimana ya? Aku ingin tahu kabar kakakku, tapi rasa penasaran itu terkalahkan oleh mual kalau memikirkan awal mula Kak Dimens mengalami tragedi itu.

Ke mana aku harus pergi? Tidak mungkin aku beralasan liburan di vila selama sebulan pada Papa. Selain karena aku tidak punya teman dekat, Papa tidak akan mengizinkanku pergi selama itu.

Tapi aku butuh melakukannya. Aku harus melakukannya.

Kendaraan kembali berjajar rapi di balik lampu lalu lintas. Kilau cahaya matahari siang memantul di kap mobil, badan motor, dan menyegarkan warna dedaunan tanaman di tengah pembatas jalan.

Sejak masuk SMP, aku selalu dipaksa Papa untuk mengunjungi kamar Kak Dimens. "Mungkin Matralah orang yang berhasil membujuknya keluar kamar dan kembali menjalani kehidupannya kayak dulu." Kalau melihat masa lalu kami berdua, memang mungkin saja. Tapi entah mengapa aku merasa aku adalah orang paling utama yang dia hindari.

Setelah dua kali mencoba dengan perasaan enggan mengetuk pintu kamar sambil memanggili namanya, dia mengirimiku pesan di media sosial.

Cukup, Matra. Nggak perlu berpura-pura lagi. Silakan berhenti memenuhi permintaan Papa untuk menjengukku di kamar. Aku nggak sakit, jangan pernah memakai kata itu buatku.

Setelah membaca pesan itu, satu-satunya perasaan yang bisa kutangkap di hatiku hanyalah lega sehingga cepat-cepat aku merasa bergelimang dosa. Orang tidak bisa sembarangan terjangkit virus seperti itu sehingga membuatku sangat yakin petaka ini disebabkan oleh hari itu.

Dan kuakui saja, pada bulan-bulan awal Kak Dimens berdiam diri di kamarnya, ada percikan rasa benci yang akhirnya berhasil dipadamkan oleh penuaan drastis yang terjadi pada diri Papa. Dulu kami berempat dan sekarang kami tinggal bertiga. Aku tidak akan memaafkan diriku sendiri kalau hanya tersisa kami berdua pada akhirnya tanpa aku pernah berusaha sedikit pun untuk berbaikan dengan Kak Dimens.

Tapi waktunya bukan sekarang. Tidak. Aku belum siap.

Tatapanku jatuh pada akses jalan di depan kiri sana. Perempatan besar di depan tampak berbeda. Butuh waktu lama bagiku untuk menyadari ada satu jalan tambahan di sebelah kiri. Dan setelah kuperhatikan lagi, itu ternyata bukan rute baru, melainkan jalan masuk sebuah pom bensin.

Pom bensin ini dibangun sejak tahun-tahun terakhir kehidupan Mama, begitu kata Papa. Tapi mereka menutupnya saat aku masuk SMP. Berdasarkan kabar yang beredar, pom itu bangkrut karena semua pegawai mencurangi sistem, mengambil keuntungan untuk diri mereka sendiri, dan masyarakat yang mulai menyadarinya melakukan demo. Kak Dimens yang menceritakannya padaku, dia mendengarnya dari teman-temannya di sekolah, tepat sebelum hasil tes penyakitnya keluar.

Don't Make It a Wrong PlaceDonde viven las historias. Descúbrelo ahora