I owe you nothing you can urge me as you please
Soma tiba lebih dulu dariku. Dia tampaknya sengaja menunggu seseorang di luar aula, di area registrasi ulang pengunjung sehingga dia langsung tahu aku datang sendirian. Begitu melihatku, dia mendorong tubuhnya maju dari dinding aula yang disandarinya dan berputar untuk berdiri lurus menghadapku. Soma bisa menatap orang seolah-olah dia adalah tembok atau papan setrika. Mantap dan datar tanpa perlu bergerak sedikit pun. Di balik kacamata itu, mata Soma tampak seperti kulit pistachio yang merekah.
"Nggak ada teman untuk diajak pergi?"
Pertanyaannya membuat perutku seperti ditodong pistol. Aku melaluinya di koridor untuk duduk di depan meja registrasi. Kurasakan bayangannya menjulang di dekat lenganku. "Batal ikut," jawabku tanpa menatapnya. Aku lalu mengonfirmasi alamat e-mail, mengisi nama sekolah, opsi negara tujuan, dan beberapa media sosialku yang lain kepada wanita yang duduk di hadapanku.
"Batal? Memang berapa yang mau ikut?"
"Dua," jawabku di tengah proses pengecekan.
"Mereka kenapa, katanya?"
Aku meliriknya dengan tajam. Soma tidak mengubah ekspresinya, masih mantap dan datar. "Itu urusan mereka. Kamu gak berhak tanya-tanya kayak gini." Memang benar dia telah membantuku; karena informasi darinya lah aku tahu harus mendatangi pameran ini, tetapi itu tidak mengubah kenyataan bahwa dia telah bersikap lancang.
Setelah proses pendaftaran ulang selesai, aku bangkit dari kursi biru dan sekilas kulihat dia mendenguskan senyum mencemooh. "Soalnya aku cuma merasa Kak Matra nggak pernah mengajak siapa pun."
Aku bingung kenapa itu merupakan masalah baginya. Soal aku mengajak siapa atau apa atau tidak sama sekali bukanlah urusannya. Panitia mengarahkanku untuk memasuki aula. Soma berusaha melangkah sejajar di sebelahku, tapi aku berjalan terlalu cepat. Tanganku mengepal dan tidak henti-hentinya aku merangkai ribuan sumpah serapah dalam kepala. Soalnya aku cuma merasa Kak Matra nggak pernah mengajak siapa pun. Dia pikir dia siapa bisa tahu tentang aku dan apa yang akan atau mau kulakukan? Dia pikir punya wewenang menebak apa pun tentangku?
Karena terus hampir menabrak orang yang melintas, dia menyerah berusaha menyamai langkahku dan dengan pasrah mengikut di belakang seperti seorang adik yang takut tersesat. Aula itu seperti tak berujung. Lampunya kekuningan dan hanya agak cerah sehingga menatap ke depan rasanya sama seperti menatap bayang-bayang. Karpet merah di bawah sepatu kami meredam bunyi langkah kaki. Bau ruangannya bercampur-campur antara kue bolu, pisang, parfum, kosmetik, udara AC, dan pengharum ruangan.
Sejauh mata memandang, meja-meja perwakilan kampus sedang penuh. Mereka mengelompokkan meja-meja itu berdasarkan negara dan tentu saja, ada lebih banyak negara yang absen daripada yang kuharapkan. Meja pertama yang kudatangi adalah perwakilan dari Universitas Stirling.
Soma tidak mendapat kursi sehingga dia berdiri saja, bersandar pada pilar krim yang diselubungi kain biru tua di sebelahku. Ujung jaket putih kehijauannya menggantung di sebelah lenganku. Katun kasar yang licin dan hangat.
"Kenapa Kak Matra nggak kuliah di Indonesia aja? Kenapa harus di luar negeri?"
Aku tidak menjawabnya. Dia kembali bertanya sampai aku memejamkan mata karena pening mendera dahiku. "Siapa sih yang bakalan nolak kesempatan untuk kuliah di luar negeri?"
Soma berdeham-deham, tapi kedengarannya juga setuju. "Benar juga. Tapi kenapa buru-buru sekali mencari informasi kampus sejak dini?"
"Siapa tahu aku butuh ngurus banyak dokumen, aku nggak mau sampai terlambat daftar."
YOU ARE READING
Don't Make It a Wrong Place
Adventure"Kak Matra pikir aku bisa pulang kalau gak beli bensin di sini?" "Harus ... harus beli di sini?" "Iya, lah! Kalau beli di tempat lain, sama saja kayak buang-buang uang. Tangkinya akan terisi, tapi aku gak akan bisa pulang." "Memangnya kenapa? Rumah...
