Wrong Affection

3 0 0
                                        

Fantasizing ...


Syukur makanannya ramah di lidahku dan Soma. Kami makan dengan sukaria, minta tambah secukupnya, dan minum minuman bening yang rasanya terlalu kecut untuk disepadankan dengan air mineral di Bumi. Tapi aku dan Soma tidak protes. Si kembar anak Pak Walleyh makan bersama kami, sibuk menyesapi mozi, yang ternyata adalah sebutan untuk saus di sini. Mereka dijemput oleh ibunya waktu kami sedang menumpuk piring-piring kotor. Mama Semwel merintangi tanganku yang menjulur ke arah teko minuman. "Kami tidak membiarkan tamu ikut beres-beres."

"Duduk sana di dalam, setelah ini kutunjukkan penginapannya Qula," kata Semwel.

"Kami menunggu di luar saja." Soma mengambil langkah lebih dulu ke tangga di depan selasar rumah dan duduk di anak tangga teratas. Aku menyusul ke sebelahnya. Angin yang berembus terasa lembut dan sedikit gersang di pipi. Rambut Soma yang mulai panjang di depan telinga bertiup ke depan, seperti lumut licin alga merah di dunia yang punya dua matahari, dunia yang kami kunjungi dua hari lalu.

"Kamu tahu alasan jarak diklasifikasikan ke dalam besaran skalar?"

Aku tersentak dalam napas yang lolos dari bibir. Dari ekor mata, aku melihatnya melirik tajam padaku, menunjukkan perasaan terganggu. Aku mengangkat bahu sambil mengangkat satu alis. "Sekarang kita bicara soal fisika? Sains? Katanya kamu anak IPS?"

"Kamu juga tahu banyak soal sains."

"Soma ... aku cuma menyindirmu aja. Tadi kamu tanya apa?" Dia mengulangi pertanyaannya, tapi dengan wajah jengkel. "Karena jarak hanya peduli nilai, tapi nggak peduli arah."

"Ya. Seandainya nol dianggap sebagai titik netral, kita pilih melangkah lima titik ke kiri ataupun ke kanan akan sama saja. Nggak ada yang namanya jarak minus lima atau plus lima senti, yang ada cuma lima senti saja."

"Paham."

"Kamu selalu tanya di mana rumahku, kan? Untuk sampai ke rumahku, aku nggak memerlukan arah, Kak Matra, cukup nilai aja. Rumahku nggak akan bisa dihitung dalam perpindahan; hanya jarak. Itulah sebabnya aku butuh bensin dalam jumlah besar. Dan yang bisa menyediakannya hanyalah pom bensin itu."

"Sejauh itu? Apakah lebih jauh dari perjalanan ke sekeliling alam semesta ini? Apakah maksudmu, rumahmu ada di tepian jagat raya?" Aku terdiam lalu menatap Soma, membentuk seluruh detail di wajahnya dalam ingatanku. Mata datar, alis tidak terlalu hitam, hidung besar, bibir tipis dan kecil yang membuatnya tampak selalu cemberut, dagu lancip, telinga lebar. Dan kemudian sadar betapa asingnya dia bagiku walau kami hampir satu tahun berteman. Aku nyaris tak tahu apa pun tentangnya kecuali hal-hal umum seperti jumlah keluarga dan pekerjaan orang tua dan kakaknya. "Di mana rumahmu, Soma?"

Soma tersenyum, secara ajaib tampak agung dan mulia. "Di mana pun tempat pertama yang muncul dalam kepalaku setelah aku memejamkan mata."

"Di ... maksudmu, seperti cara kita pergi?"

"Kamu harus mengarungi pusaran ruang-ruang yang dimampatkan, tapi aku nggak. Begitu selesai mengisi bensin, duduk di atas motor, memejamkan mata dan menarik gas, aku akan sampai di rumah."

Di halaman, Semwel dan Reiz mengangkat meja seluas kasur ke selasar di seberang kami. Langit malam di sini identik dengan langit malam di Bumi, mungkin karena Ginsorla juga kembar dengan Matahari.

"Kak Matra. Dulu, dulu sekali, pada zaman kedatangan Belanda di Pulau Jawa bagian barat, ada sebuah kerajaan kecil yang dipimpin oleh seorang raja. Raja yang culas, begitulah yang selalu diingat rakyatnya. Luas daerah yang dia kuasai memang tidak terlalu besar, rakyatnya hanya berjumlah tidak sampai 200 orang. Seorang bangsawan Belanda menawarinya pilihan untuk menyerahkan daerahnya itu dengan ganjaran kerajaan baru yang lebih besar di sebelah timur. Dan tanpa memikirkan rakyatnya, raja itu menerima tawaran tersebut. Dia membantu bangsawan itu selama masa penggusuran penduduknya. Mereka tidak sanggup mengangkat senjata untuk memulai perang karena nggak ada seorang pun yang punya cukup harta untuk dipertahankan. Dalam penggusuran itu, mereka berjalan dalam kelompok, berusaha menemukan kerajaan baru yang bersedia menerima perpindahan mereka, atau setidaknya perkampungan lain di luar wilayah kerjaan mana pun, ataupun lahan untuk membangun sebuah perkampungan.

Don't Make It a Wrong PlaceWhere stories live. Discover now