Wrong Decision

4 0 0
                                        

Only in your company could I feel secure


Ponselku mati, padahal aku selalu mengisi penuh dayanya setiap malam karena tahu esok hari akan jadi perjalanan panjang. Aku membawa pengisi daya ke mana-mana dan sekarang menyesali keputusan tidak memperhitungkan power bank. Apa mungkin ada keretakan layar? Aku mendekatkannya pada sorot sinar matahari terdekat, tapi ponselku tampak sempurna, hitam dan berkilau.

Haruskah aku menjelajah? Bagaimana kalau penduduk di sini menganggapku ancaman? Aku tak bisa membuktikan bahwa aku orang baik-baik yang melakukan perjalanan secara legal dengan paspor atau visa di tangan.

Lupakan manusia. Bagaimana jika aku menginjak ranting hingga patah dan bunyinya mengundang harimau? Aku sebenarnya berada di mana saat ini? Ombak yang menampari pesisir di kejauhan membuatku yakin aku masih berada di Bumi, meski tidak tahu bumi yang mana jika benar ada beberapa versi dari mereka.

Aku ingat kuliah Soma tentang sistematika alam yang akan berubah menjadi tidak stabil kalau aku berpindah tempat sebelum kurang lebih delapan jam dan kesialan ini adalah bentuk nyata. Kepalaku melongok lebih jauh. Strategi yang berhasil kususun adalah melepas sepatu dan melangkah bertelanjang kaki di atas tanah, menghindari patahan-patahan ranting atau tumpukan daun kering.

Hutan dengan pohon-pohon berdaun lebar. Tipikal hutan tropis. Aku berharap masih ada di sekitar di Indonesia.

Perutku mulai bergelenyar dengan tidak nyaman, aku memeganginya dan bunyi keroncongan terdengar makin kencang. Setelah mengendap-endap cukup jauh sambil menenteng sepatu dan menggendong ransel, aku tiba tepi hutan yang terletak di ujung tebing. Di depan sana adalah tempat terbuka, dilimpahi cahaya siang. Beranikah aku mengambil risiko?

Aku menoleh ke kanan lalu kiri. Sejauh ini seaman akun dengan sandi terenkripsi. Debur ombak berada di bawah tebing ini. Perahu-perahu kayu ditambatkan beratus meter jauhnya dari tebing. Oh. Aku tidak menyangka. Aku masih berada di tengah peradaban— Atau di pinggirnya?

Dari sini tampak mungil, terbentang dermaga kayu pendek. Lambung perahu menampari sisinya. Bola-bola hitam melayang di sekeliling perahu itu. Dan ada bocah-bocah yang terjun ke laut. Perasaan lega membanjir. Mereka tampak seperti manusia. Atau mereka memang manusia. Apakah cukup jauh untuk memutar turun dari hutan ini?

Adakah yang bisa dimakan di sini? Aku menunduk dan mengira-ngira tinggi tebing ini. Ya Tuhan, mungkin mencapai 15 meter. Tapi bagaimana kalau di sinilah aku akan berakhir? Tanpa ada kelanjutannya sama sekali? Jujur saja, sejak tadi aku mengharapkan Soma tiba-tiba muncul dari langit seperti dewa Yunani. Berkacamata, berwajah panjang dan lancip, rambut lembut tapi berujung tajam, bersugar di kanan, mengenakan tunik putih dan mengendarai kereta perang Yunani.

Apakah dia bisa menemukanku kali ini? Apa aku cukup berharga sebagai temannya untuk dicari di sekeliling dunia? Benar-benar memerinci setiap meternya?

Dia datang di makam Ali kemarin. Ya, tapi itu karena jarak kalian tidak terlalu jauh, kan? Suara di belakang kepala menepis. Kepercayaan diriku langsung runtuh. Bagaimana kalau memang begitu? Dan Soma tak akan pernah menemukanku selamanya sekeras apa pun aku memikirkannya?

Aku harus pergi dari sini. Aku belum makan sepagian dan kalau tidak mendekati dermaga, mungkin aku tidak akan makan selamanya. Ketika berbalik, aku mendengarnya. Dahiku berkerut. Suara percakapan beberapa orang. Menuju ke arahku.

Tubuhku menegang. Aku berdiri di bawah langit siang, tanpa naungan dari satu pohon pun. Maka aku segera merapatkan diri ke batang jati terdekat yang ukurannya mampu menyembunyikan tubuh kurusku dari mereka.

Mereka bicara dalam bahasa yang sangat asing di telingaku. Tapi sesekali aku bisa mendengar tru tru atau rait dan left. Tunggu, apakah aku ada di India? Jantungku rasanya meluncur turun sampai meninggalkan tubuh. Sebentar lagi siang akan berlalu jadi sore, matahari akan terbenam di balik cakrawala dan malam pun tiba. Hewan-hewan buas, harimau benggala mungkin, akan keluar. Atau, siapa yang tahu, harimau sumatera?

Kalau aku mendatangi orang-orang itu, mereka akan bertanya bagaimana bisa aku sampai di sini dan bagaimana aku akan menjelaskannya? Tersasar dari bandara? Tadi datang bersama teman yang mau memperlihatkan pantai kepadaku? Baru saja selesai bertualang?

Lalu sebuah ide muncul begitu saja di benakku. Jangan ceritakan apa pun karena ... tidak usah temui mereka. Ikuti saja diam-diam di belakang. Aku menurunkan sepatu dan kembali mengenakannya. Setelah mengikat kuat-kuat, aku merayap di balik pepohonan untuk mendekati dua laki-laki berambut hitam yang mengenakan celana olahraga panjang dan kaus, satunya lagi kemeja marun pudar kebesaran. Mereka meletakkan kapak ke bawah lalu mengikat batang-batang kayu dengan sulur tanaman kering.

"Dispela?" tanya orang berkemeja dengan ketus.

"Mi no save," jawab yang berkaus.

Jarak kami sekitar tujuh meter. Mereka mengangkat seikat batang kayu baru ke dalam gerobak roda tiga lalu bergegas pergi. Kata taim juga diulangi beberapa kali. Mereka sampai di suatu garis bertanah kosong, tidak ditumbuhi tanaman ataupun pohon. Malahan tajuk pohon mencuat dari baliknya. Tanah itu seperti patah. Buntukah? Tapi mereka membawa gerobak.

Kedua laki-laki itu berteriak ke bawah sana dan ada yang balas berteriak. Mereka lalu menjungkirkan gerobak itu, meninggalkannya di ujung ... tebingkah itu? Lalu merosot turun. Merosot turun? Aku menunggu hingga suara mereka menjauh dan beranjak mendekati gerobak. Itu adalah hamparan batu terjal di sebelah air yang mengucur keluar dari sela-selanya. Aku yakin mereka tadi lewat sini. Di sekitarnya, hamparan batu jauh lebih terjal dari yang ini. Tapi ... cipratan air membuatnya licin.

Aku menjilati bibir, membuang ransel yang empuk ke bawah lalu memejamkan mata untuk menguatkan diri. Aku pun mulai merendahkan diri hingga berjongkok dan saat itulah bahuku ditepuk.

Aku gagal menahan diri dan menjerit sekencang yang kubisa, tapi orang itu segera membekap mulutku. "Kak Matra! Aku Soma, berhenti berteriak, mereka semua belum jauh."

Aku menoleh dengan cepat hingga tangan Soma di mulutku terpeleset sampai bahuku. "Soma!" Segera aku berdiri dan berbalik untuk memeluknya, meremas kuat-kuat mantel navy di luar pinggangnya, lalu mengeratkan kungkungan tanganku di tubuh kurusnya. Dapat kubayangkan kekelaman yang menyergapku di awal luruh terbasuh oleh keakraban yang ditimbulkan panas tubuh Soma. Seluruh bagaimana mendesak naik dalam kulit kepala dan membuat otakku berdenyut.

"Aku di sini sekarang. Sudah, Kak Matra, tenanglah." Tangannya mengusap punggungku. Telapak tangannya yang selalu menggenggamku.

Tapi tubuhku masih bergetar hebat.

"Jangan salah lagi memikirkan tempat tujuanmu, jangan pernah, atau kamu akan membenciku selamanya." Dia terus bergumam untuk dirinya sendiri sementara aku berusaha menemukan tenaga untuk melepaskan diri darinya. "Mereka yang telah pergi merasa nyaman dan aman sekarang. Aku nggak lagi menemui mereka karena vibrasi jiwa kami sudah jauh berbeda."

"Di mana kita sekarang?" tanyaku setelah berhasil menemukan kekuatan pada kedua kaki. Aku pun menjauhkan diri dari Soma.

Dia menatapku. "Papua Nugini, di bagian tropisnya. Kalau kamu mendarat di sebelah selatan, mungkin kamu masih akan menemukan serpihan-serpihan salju. Eksistensimu dicerai-beraikan alam, Kak Matra, karena berpindah tempat terlalu cepat—"

"Tapi kamu biasa melakukannya dan alam tidak melemparkanmu beratus kilometer jauhnya dari tempat tujuanmu!"

"Alam mengenali pola yang kubentuk. Alam mengenaliku," tekannya, "aku telah lama bergabung dan menjadi bagian dari mereka."

"Bagian dari mereka? Maksudmu, kamu bisa pergi ke Saturnus sekarang dan pergi lima detik setelahnya ke Matahari kalau kamu memang mau?" Sebelum dia sempat menjawab, aku menelengkan kepala dan menyipit. "Bagian dari mereka, kamu bilang? Maksudmu, kamu ini pohon atau apa?"

Tatapannya jauh lebih serius. "Aku punya sifat-sifat yang dimiliki alam. Sifatnya yang megah dan kuat." Kacamatanya berkilau lagi. Aku mendekat. Dia mengalihkan pandang ke hamparan batu di bawah. "Kamu sudah membuang ranselmu ke bawah. Daripada tanggung, kita lanjutkan saja rencanamu untuk pergi ke pantai. Kita bisa mengobrol di sana."

Don't Make It a Wrong PlaceDonde viven las historias. Descúbrelo ahora