Wrong Insistence

3 0 0
                                        

You were made up of questions and answers


Kompas membawa kami melewati jalur yang sekiranya mirip dengan jalur yang diambil oleh para penduduk asli. Kami bisa bilang bahwa kami adalah turis yang ingin menyaksikan pantai dari tebing. Orang-orang pesisir banyak yang bisa bahasa Inggris, kata Soma, sehingga kami tidak perlu memerlukan usaha ekstra.

Sekeluarnya dari tepian hutan, kami menuruni lereng landai yang ditumbuhi rerumputan tinggi berjarak renggang. Tanah itu berpasir dengan butiran sebesar biji kemangi yang sedang mengembang. Sol sepatuku terbenam agak dalam, tapi Soma melangkah dengan percaya diri di depan sana. Di depan kami terbentang jalur menuju permukiman warga. Rumah panggung dari kayu didirikan di sana sini. Anak-anak terbuai dalam hammock di teras rumah, satu atau dua jumlahnya berlarian di bawah siang yang panas. Para orang tua melakukan rutinitas sehari-hari di depan atau samping rumah. Menyapu, menenun, menanak sesuatu di depan tungku, memanggul batang kayu atau ember berisi peralatan pancing dan melaut.

Semua mata menatap kami. Langkah Soma tidak gentar. Aku mengikuti di sebelahnya, tapi tidak berhasil merasa tenang sehingga aku menunduk untuk menghindari mata mereka semua.

"Selamat siang," kata Soma dalam bahasa Inggris pada seorang laki-laki yang mengenakan kemeja putih dan kain pembebat pinggang berwarna burgundi pudar. "Senang bertemu Anda. Kami menumpang lewat, mau makan siang di restoran pinggir laut."

"Senang bertemu Anda juga, Sir," balas orang itu dan kembali berjalan dengan langkah pelan, "silakan." Kedua tangannya terkait di belakang punggung.

Restoran pinggir laut ada banyak. Kios dalam mobil jumlahnya juga lumayan. Mereka berdiri di antara toko baju, toko peralatan pancing, rumah surfing, penyewaan perahu, toko suvenir, toko alat musik. Kami memesan makanan di salah satu restoran makanan laut lalu meminta seorang pramusaji menyediakan satu meja untuk kami selagi kami menyusuri pantai, menunggu ikan, tiga jenis kerang, dan kepiting kami dibakar.

Dermaga berkilauan dari tempat kami memulai perjalanan, tampak seperti permata yang anggun, menunggu seseorang menghampiri dan menyelubunginya dengan selimut yang lembut. Cuacanya seolah selalu panas di sini. Ada lebih banyak sinar yang menguapkan air daripada air yang mengalahkan rasa panas. Aku berharap bulan Januari di sini lebih ramah kepada tanah di sini, menurunkan hujan yang cukup untuk ladang dan hutan mereka.

"Bagaimana caramu menemukanku?" Bagaimana mungkin dia bisa langsung menemukanku? Apakah dia menjelajahi seluruh probabilitas di dunia? Alam melemparkanku ke tempat yang tak pernah kuduga, tapi ternyata masih di Asia.

"Aku yakin akan dapat bertemu kembali denganmu karena ini belumlah waktunya kita berpisah selamanya. Ketika melemparkan sesuatu, alam melakukannya secara lepas kendali. Kamu beruntung terdampar di sini. Aku sudah mencemaskan berbagai kemungkinan seperti Antartika, Dasht-e Lut, Sungai Amazon. Tapi aku terus berharap kamu tahu cara menuntunku kembali padamu. Alam melemparkanku kembali ke Grindelwald dan bensinku juga habis, sepertimu, tapi aku tahu seluruh pom bensin yang berfungsi bagiku di setiap titik di dunia, jadi aku mengisinya di—"

"Mengisi apa? Motormu kan masih ada di Jawa."

"Kamu nggak bisa menyamakan aku dan dirimu, Kak Matra, kemampuan kita jelas berbeda."

Aku tahu—aku menggertakkan gigi dan berjalan sambil memandangi sepatuku di antara pasir kuning.

"Seandainya kamu mengisi bensin untuk pulang-pergi di Grindelwald, titik kembalimu pun adalah Grindelwald, selalu di sana. Tapi peraturan yang berbeda berlaku untukku."

"Dan bagaimana caramu menemukanku?"

"Aku selalu berusaha menangkap setipis apa pun sinyal darimu. Aku sampai di sebelas tempat sebelum akhirnya mendeteksi sinyal darimu, ternyata tidak seberapa jauh dari Jepang."

Don't Make It a Wrong PlaceWhere stories live. Discover now