Wrong Intrusive

3 0 0
                                        

It's not merely a nice trip, this is the greatest escape


Papa membaca lampiran formulir pendaftaran sukarelawan yang kuajukan di sofa antara kami dengan saksama. Terkadang aku yakin semua orang tua butuh kacamata karena mereka cenderung senang terlihat seolah sedang mengendus kertas saat sedang membaca sesuatu. Walau rambut Papa masih sangat hitam dan rahangnya yang kotak kelihatan lebih kuat daripada Dimens, caranya mendekatkan kertas ke mata membuatku khawatir.

Setelah sekitar dua menit kemudian, Papa mengangguk. "Jalan Kamboja Merah? Dekat."

"Ini kegiatan yang sama dengan yang kuikuti semester lalu."

Di balik kemeja merah bercorak kubus-kubus mungil hitam, Papa memalingkan wajah ke depan. Matanya terpaku ke suatu titik di atas televisi. Aku langsung meraih kertas itu dari tangannya dan bergegas berdiri karena aku tahu apa yang akan terjadi sebentar lagi.

"Ulang tahun kakakmu terjadi dua bulan lagi."

Dua bulan lagi. Kata-kata yang terselubung di balik nada muram yang berusaha dikuatkan itu berarti mungkin saja ini akan menjadi ulang tahun terakhir Dimens. Mendadak serbuan angin seperti sensasi yang acap kali kurasakan sesaat sebelum jatuh ke dalam tempat tujuan yang akan kukunjungi dengan Soma menyerbu kulitku. Tapi, alih-alih mendarat di tempat tujuan itu, aku malah mendarat di masa lalu. Ulang tahun keenam, tahun pertamaku masuk SD. Dimens naik ke kelas lima dulu itu, tapi semua orang yang hadir di pesta ulang tahunku memuji betapa seharusnya dengan tinggi tubuhnya itu dia bisa mendaftar langsung ke kelas 9. Dimens hanya tertawa. Bahkan dia tahu caranya menyenangkan hati seseorang saat masih kelas 5 SD.

Papa memasang pinata kuda di salah satu cabang batang pohon jambu di halaman rumah kami dan memberiku penggiling adonan roti. Teman-temanku dari masa TK dan bocah-bocah tetangga yang diundang mengitariku, membawa gelas es krim dan menjilat-jilati noda krim yang menempel di sekitar mulut, ingin segera tahu hadiah apa yang ada di balik si kuda kertas berumbai itu. Tapi, masalahnya aku juga.

Kuda itu seolah-olah terbang di langit biru itu sendiri. Aku cuma bisa melongo menatapnya dari bawah. Kuacungkan penggiling ke atas, tapi ujungnya juga hanya sanggup menyentuh udara di bawah kuda kertas. Jauh sekali malah. Aku melompat-lompat untuk menjangkaukan sabetan ke atas, tapi penggiling itu menyundul pun tidak. Maka aku mengedarkan pandang dan menemukan kursi undangan bersaput kain putih. Kubuang penggiling di tanah, berlari ke salah satu kursi, lalu menyeretnya dengan rakus ke bawah pohon jambu berpinata. Aku bergelantungan padanya seolah-olah kursi itu adalah boneka kesayanganku.

Gemuruh tawa segera membumbung tinggi. Tapi tawa Dimens yang kedengaran paling nyaring karena aku masih ingat bisa mengecap kepuasan dan kebanggaan di sana.

"Adik rupanya gigih sekali, Pa!" Dia berkali-kali berseru.

Aku meletakkan kursi, mengambil kembali penggiling, dan sudah akan memanjat kursi itu kalau Dimens tidak berteriak padaku. "Hey, Mats." Aku terus mengingatnya hingga hari ini, caranya menyebut Mats seolah-olah aku adalah teman-teman akrabnya seperti Ali atau laki-laki yang dipanggilnya Pare. Mats, mate. Mate, Mats. Dia menarik tanganku. Matanya yang cerah sampai kelihatan menyerupai fosfor menatap dengan geli padaku.

"Kalau kamu panjat langsung kursinya, kainnya bakal kotor. Dan untuk melepas kainnya, sepertinya agak ribet untuk ukuranmu." Dia membentuk kamera dengan siku-siku telunjuk dan jempol lalu mengarahkannya padaku. Dia berbalik sehingga aku menjumpai punggungnya yang kurus. "Naiklah ke sini, kita akan membuatmu memukul pinata itu tanpa menggelinding dari kursi."

Sambil memanjat punggungnya, aku berkata, "Terima kasih, tapi kenapa nggak dari tadi?"

Gemuruh tawa lainnya, tapi kali ini suara riuh tajam itu menusuk dasar perutku. Satu titik dekat jantungku berdenyut dengan tidak wajar. Dan aku menghadapi kegelapan di balik kelopak mata dengan napas terengah-engah.

"Jangan pernah datang kalau hanya disuruh Papa."

Ini aneh sekali kedengarannya, tapi seandainya bisa, aku juga ingin punya kesempatan untuk menggendong Dimens ke mana pun yang kumau. Aku ingin menjadi orang pertama yang membuatnya bisa memukul pinata kuda, membuatnya duduk di bahuku agar bisa menonton hiburan dalam rangkaian acara jalan sehat yang diadakan gubernur, membiarkannya menari dan tertawa-tawa di pundakku sementara dia masih pendek dan mungil.

Dan dua bulan lagi aku masih punya kesempatan untuk melakukannya. Walau aku tak mungkin bisa membuatnya duduk di bahuku, tapi kami setidaknya bisa kembali menari dan tertawa-tawa, menyanyikan lagu "Gelang Si Paku Gelang" seperti saat kami keluar dari lapangan tempat rangkaian acara jalan sehat didirikan.

Tapi ... tidak. Tidak mungkin Papa akan menyerah begitu saja, kan? Tidak mungkin Dimens akan menyerah secepat ini. Dia akan hidup seribu tahun lamanya. Akulah yang akan meninggalkannya dan bukan sebaliknya.

Aku membuka mata. Tampak dinding krim di depanku, remang-remang di luar cahaya televisi, yang menjadi satu-satunya cahaya di ruang tamu. "Ya," jawabku, suaraku lembut seperti mendayung sampan di atas permukaan danau yang dingin, "dan dia akan berulang tahun kembali tahun depan, tahun depan, dan tahun depannya lagi. Dan tahun-tahun berikutnya."

Kedua alis Papa melengkung sendu. Bibirnya berkerut-kerut, dilema mau mengatakan sesuatu atau menyimpan segala kata untuk diri sendiri. Sebelum Papa bisa memutuskan, aku telah membawa formulir pendaftaran ke kamarku di belakang meja makan dapur.

Di dalam kamar, aku berdiri agak jauh dari punggung kursi belajar. Di papan kayu mini yang kupajang di atas meja, aku telah menulis daftar negara yang ingin kukunjungi selama sebulan ini. Sementara waktu, aku bisa bilang puas dengan Inggris, Republik Irlandia, Prancis, dan Swis—walau aku baru mengunjungi satu kota saja di setiap negara itu. Soma bilang, akan butuh waktu selamanya untuk bisa mengunjungi seluruh titik di muka bumi dan dia mau-mau saja menemaniku pergi, tapi apakah aku punya selamanya?

Kami bakal segera lulus sekolah dan berpisah, kemudian disibukkan oleh kegiatan masing-masing. Aku mungkin tak lagi punya cukup waktu untuk bepergian, seperti para orang dewasa lain, yang menghabiskan waktu di kantor atau di kampus dan libur yang kuperoleh paling-paling hanya cukup kugunakan untuk tidur sebelum aku sempat mengemasi barang-barang untuk pergi.

Dan aku tak akan bisa melakukannya tanpa Soma, kan?

Aku hilir mudik di kamar dengan tatapan terpancang pada daftar negara di atas kertas yang kutancapkan dengan pin ke papan kayu lunak. Soma bilang semua ini adalah latihan untuk perjalanan sesungguhnya. Perjalanan menuju tempat-tempat yang tak terjangkau, bahkan oleh teleskop atau wahana antariksa yang bisa dikirimkan oleh para ilmuwan. Perjalanan yang sanggup membuat mereka tercengang. Probabilitas dunia di luar dunia kita ternyata benar-benar ada.

Dan di sinilah aku sekarang, setelah melalui tidur tak tenang sepanjang malam, dihantui oleh bayang-bayang pinata lilin yang meleleh dalam kegelapan dan kursi putih di sebelah pemakaman. Kami menghadap reservoir tanam bahan bakar setelah mengisi bensin, seperti biasa. Punggungku tertekan oleh ransel berisi pakaian yang kuselundupkan ke bagasi motor sebelum berpamitan berangkat menghadiri kegiatan relawan pada Papa.

"Siap?" tawar Soma. Setang motornya bersentuhan dengan setang motorku. Ransel juga telah siap di punggungnya.

Aku mengencangkan cengkeraman pada setang motorku, membayangkan tanah, udara, lambang negara, wisata yang terkenal, dan kebudayaan khasnya, lalu menarik gas.

Ketika membuka mata, di bawah langit kusam berawan malam, bangunan batu kapur raksasa berbentuk melingkar dan hanya setengah utuh tampak olehku.

Aku tak tahu apa kami boleh melakukan ini, tapi Colosseum tampak menggoda tanpa bayangan membeli tiket masuk. "Kenapa kita nggak mendarat di dalam?" tanyaku.

"Dan langsung digiring ke Penjara Roma oleh penjaga?"

Don't Make It a Wrong PlaceWhere stories live. Discover now