Never once do I dare myself to imagine that possibility
Tadinya kupikir akan berangkat sejak pukul enam, tapi tanah pemakaman di bawah hari yang masih setengah gelap membuatku gentar. Aku menunda sampai pukul tujuh. Sudah rapi dengan kemeja dan celana kain hitam serta rambut cokelat tua digulung rendah. Baru ketika matahari sudah cerah sekali sampai panasnya lumayan terasa di jendela kamar, aku keluar dan menemui Papa yang sedang menyantap brioche panggang dengan selai kacang.
Dia menoleh ke belakang mendengar pintu kamarku terbuka. "Oh, halo, Nak! Ayo sarapan dulu sebelum ... hari ini dress code-nya hitam?"
"Ya," jawabku sambil mengambil selembar roti dari balik punggung kursi. "Temanya berkabung."
Buk Laras pun memutuskan untuk tidak lagi pura-pura tidak mendengar. Dia berbalik dari daging dan talenan di dapur untuk menengokku.
"Berkabung untuk Ali. Aku mau mampir ke makamnya dulu, karena kurasa laki-laki yang adalah temannya gak akan datang." Aku mendekat pada Papa untuk mengecup keningnya dan bersalaman dengan Buk Laras yang termangu-mangu ketika kudatangi.
Beberapa teman Dimens lainnya sudah kulupakan wajahnya. Mungkin juga karena aku tidak berdiri di depan makam mereka dan memandangi foto hitam-putih formalnya yang dicetak sebesar pelukan satu tangan. Foto itu disandarkan di nisannya. Gundukan tanah dalam keramik masih dipenuhi taburan bunga. Aku meletakkan buket hitam bunga lili putih dan mawar kuning di atasnya, di sebelah buket-buket lain yang mulai mengering. Ali sepertinya dikenal banyak orang dan kepergiannya membuat mereka semua sedih sehingga mereka berusaha mengemas salam perpisahan terakhir dengan buket bunga terbaik.
Aku berjongkok di sebelah makamnya, menggenggam tanah cokelat kemerahan yang lembap. Bagaimana jika hujan mengguyur nanti? Ada banyak plastik di atas makammu, kamu nggak mau nggak sengaja bermandikan air limbah, kan? Aku memungut buket-buket itu dan melepaskan plastik lalu meletakkan kembali bunga-bunga di atas tanah. Kumasukkan seluruh plastik ke dalam kantung kanvas tempatku membawa buketku tadi.
Galih Brema Ginanda Lukman. Apakah berteman dengan Dimens Reynold adalah keputusan tepat? Atau apakah keputusan Dimens untuk berteman denganmu tepat?
Namanya yang terukir di nisan membuatku sulit berpaling. Sambil membelai bergantian antara bunga-bunga dan tanah makam, aku membayangkan saat-saat terakhir kehidupannya. Sinar matahari sudah terik sekarang, tapi aku sulit menghentikan diri mengalami dilema harus marah padanya karena ada di kamar Dimens juga malam itu atau harus kasihan karena dialah korban pertama.
Dimens gak akan menyusulmu secepat itu, aku percaya. Sesuatu membuatku yakin, Ali. Mungkin karena aku berteman dengan Soma yang bisa membaca pikiran orang lain. Dimens kelihatan sehat, dia hanya mau orang lain melihatnya sakit agar kami semua ingat dia berbahaya untuk didekati. Dimens akan hidup seribu tahun lamanya. Dialah yang akan melihatku mati, bukan sebaliknya.
"Selamat siang? Ada yang bisa ...."
Aku terperanjat, seolah tertangkap melakukan sesuatu yang tidak pantas. Di belakangku, berdiri seorang wanita berambut pendek yang diikat rendah, ujung rambut itu kelihatan seperti kuas blush-on tebal. Wajahnya maju ke depan seperti moncong tupai. Matanya ditutupi kacamata hitam tak tertembus.
"Saya bantu?" tanyanya ragu-ragu.
Dengan kagok aku mengangkat tas kanvas berisi plastik-plastik bekas buket. Aku baru saja memamerkan umur kakakku yang akan panjang pada anakmu. "Air hujan yang bercampur dengan plastik akan menyerap dalam tanah. Barusan saya menyisikannya."
YOU ARE READING
Don't Make It a Wrong Place
Adventure"Kak Matra pikir aku bisa pulang kalau gak beli bensin di sini?" "Harus ... harus beli di sini?" "Iya, lah! Kalau beli di tempat lain, sama saja kayak buang-buang uang. Tangkinya akan terisi, tapi aku gak akan bisa pulang." "Memangnya kenapa? Rumah...
