Wrong Mistake

Mulai dari awal
                                        

Aku duduk di mobil, menutup pintu dan berkata pada Papa. "Aku belum mau pulang, Pa. Aku minta tolong."

Papa menjawabnya dengan mengunci semua pintu secara otomatis sehingga kunci manualnya tidak berfungsi. Mesin mobil dinyalakan agar pendingin kabin bisa bekerja. Kami lalu duduk dalam mobil yang seolah gemetar karena menggeram kedinginan. "Kakakmu mau menjelaskan sesuatu. Dia meminta kita semua hadir dan sekarang kita lengkap."

Lengkap, bersama-sama. Terjebak dalam kabin mobil. Aku mengernyit, ke mana Papa akan membawa kami pergi? Buk Laras masih menunduk di kusinya.

"Kumohon dengarkan aku."

Aku terlonjak sampai dadaku mencelat dari tubuh. Dengan panik aku menoleh ke kursi belakang dan di sanalah dia duduk, dalam hoodie hitam. Rambut cokelatnya mencuat di antara tudung dan dahi. Aku meraih kunci pintu dan dengan usaha sia-sia menarik gagang. Pintu tidak mematuhi perintahku. Napasku tajam dan patah-patah.

"Matra ... Dik, dengarkan aku, setelah ini ... kamu yang putuskan sendiri. Kamu benar-benar nggak akan menemuiku lagi atau bersedia memberiku kesempatan kedua."

Matra, Dik. Mantra yang langsung membungkamku.

"Namanya Emily." Dimens memulai. "Dia adik kelasku, anggota vokal dan aku selalu suka mendengarnya bernyanyi. Dia diketahui sudah berpacaran selama lima tahun dengan teman sebayaku di sekolah yang sama, namanya Ovon, laki-laki yang sangat urakan. Aku nggak pernah paham apa yang membuat diva seperti Emily jatuh cinta pada Ovon. Kurasa hampir-hampir Ovon ini nggak memiliki kelebihan yang mencolok. Kerjaannya sehari-hari cuma luntang-lantung di sekolah dengan lagak petantang-petenteng, seolah dia ini kepala preman di Jawa.

"Tapi aku juga sadar, laki-laki tengil itu adalah laki-laki yang berhasil membuat Emily menyerahkan hatinya. Sekalipun dia berlagak sok, tapi aku ternyata masih kalah jauh darinya. Aku pun tahu aku nggak akan memiliki kesempatan karena kupikir Emily dan Ovon akan bertahan sampai menikah. Aku mencoba berpacaran dengan teman sekelasku, tapi aku nggak pernah bisa melupakan dia, suaranya, senyumnya. Lalu suatu hari, Ovon berhenti sekolah, begitu saja, mendadak sekali. Dan sejak itu, Emily selalu saja menangis. Kupikir semuanya wajar saja; dia pasti sedih. Tapi aku terkejut ketika tahu itu adalah tangis kelegaan, tangis kebahagiaan. Dia dihibur Ali, kamu tahu? Ali yang baru meninggal beberapa minggu lalu. Ali tahu perasaanku terhadap Emily; dia satu-satunya yang tahu. Dan dia bilang ... dia bilang aku punya kesempatan.

"Kesempatan. Coba bayangkan. Yang tadinya kupikir adalah kemustahilan, kini dinyatakan sebagai kemungkinan. Tapi aku juga begitu terkejut kesempatan itu hadir dalam bentuk nggak terduga. Kupikir kesempatan itu hanya untukku seorang. Nyatanya ...." Kudengar Dimens menelan ludah. "Aku terlalu bingung sampai-sampai daripada marah ketika mendengar Ali memintaku untuk menyediakan tempat bagi kami semua, aku malah menyetujuinya begitu saja. Karena sudah terjun, aku menyelam sekalian."

Di depan, Papa memukul dasbor sampai membuatku dan Buk Laras terlonjak.

"Aku ... k— Kumohon," kata Dimens. "Tolong jangan potong aku."

Tangan Buk Laras terjulur ke lengan Papa. Dia menepuk-nepuknya dengan ritme teratur, seperti seorang kakak yang berusaha mengendalikan kemarahan adiknya.

"Jadi malam itu di rumah," Dimens melanjutkan, "sebelum kamu pulang sekolah, Matra, aku mengundang mereka untuk datang. Karena aku tahu jadwalmu ketika harus pulang sore, aku memanfaatkannya untuk membawa mereka naik ke kamarku lebih dulu. Dan semua itu ... Emilylah yang menginginkan semua itu."

Aku berputar untuk memastikan aku tidak salah dengar. Hal yang sama juga dilakukan Papa dan Buk Laras, aku mendengar desir kain mereka beradu dengan kulit jok. Dimens menjilat bibir lalu menunduk.

"Emily bilang, dia mau melakukannya dengan kami semua; ada delapan orang di dalam, Matra. Aku, Ali, Sibam, Rudy, Fin, Pare, Josua, dan Emily. Seharusnya aku tahu kenapa Emily yang begitu setia pada Ovon yang terkenal berengsek tiba-tiba mau melakukannya dengan banyak orang sekaligus."

"Primus, dengarkan dia dulu." Buk Laras menyela di depan. Saat aku melirik Papa, tangannya dipenuhi galur urat yang menonjol. Spion menunjukkan mulutnya terkatup tipis sekali dan di belakangku, Dimens semakin menunduk.

"Setiap kali dia melakukannya dengan seseorang, yang lain harus menunggu di teras dan diperingatkan jangan ribut untuk mengantisipasi kedatanganmu. Setelah bangkit dari kebingunganku, semuanya sudah terlambat. Aku meminta untuk menjadi yang terakhir dalam giliran itu. Dan saat itu sudah giliranku ketika aku sadar betapa berengseknya aku. Seharusnya ... kalau aku memang menyukainya, aku bisa menghargainya, mengangkat derajatnya. Seharusnya aku menghiburnya dengan cara lain, tapi yang kupikirkan waktu itu adalah ... berhubungan dengan dia. Itu dia, Emily Brissana, gadis yang kusukai."

"Kamu brengsek sekali, Dimens!" maki Papa dalam geraman berbahaya.

Aku memejamkan mata saat jantungku kembali berjengit. Buk Laras mengeluarkan suara seperti orang tercekik. Aku tidak berani menoleh ke arah Papa. Kepala Dimens sampai bergetar. Aku mengangguk padanya, mendorongnya untuk melanjutkan.

"Yang aku ingin kamu tahu adalah ... aku nggak pernah mengambil kesempatan itu. Saat tiba giliranku, aku membersihkan tubuh Emily, menyisir rambutnya dan memakaikannya baju. Nggak pernah sekalipun aku memanfaatkan kesempatan itu untuk memperburuk keadaannya. Aku nggak mengerti apa yang dia pikirkan saat itu, dia hanya menangis, bahkan sepertinya nggak menyadari kehadiranku di sana.

"Setelah dia meninggal dan dinyatakan sebagai penderita AIDS, orang-orang yang pernah punya hubungan dengannya dihubungi, diminta untuk melakukan tes sesegera mungkin. Saat itu aku langsung tahu bahwa aku mungkin saja telah terjangkit HIV dan Emily adalah gadis putus asa yang takut menghadapi kematiannya sendirian."

Keheningan membayangi saat berikutnya. Pekat dan berat, seperti awan-awan mendung bulan Desember. Dia kembali bicara. "Seandainya Papa nggak memanggilkan dokter untuk merawatku, HIV mungkin akan memperparah keadaanku, tapi pengobatan yang kujalani mampu menekan jumlah virus dalam tubuhku."

Aku masih tidak mau memeriksa kondisi Papa. Aku merasa khawatir untuk Dimens sehingga akulah orang pertama yang memecah keheningan yang terjadi lagi. "Lantas gadis itu pikir dia berhak mengajak semua orang untuk mati bersamanya? Dia jahat, Dimens, dia jahat padamu. Kamu lupakan fakta bahwa kamu menyukainya, apakah dia punya rasa kasihan padamu? Apakah dia mengampunimu atas kesalahan yang nggak kamu lakukan sebelumnya? Nggak."

Tatapan Dimens yang tegang berangsur melembut. Dia melemparkan senyum terima kasih padaku. "Tapi tetap saja, itu nggak memungkiri kenyataan bahwa aku telah melakukan kesalahan dengan membiarkan mereka semua melakukan itu padanya, Matra."

Don't Make It a Wrong PlaceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang