Kami mengembalikan piring plastik pinjaman ke stand nasi bungkus dan membayar tambahan berupa kerupuk dan air mineral gelasan. Ponselku di kantung rok bergetar. Aku mengeluarkannya. Kontak Papa mengerlip berulang kali.

"Tuh, sudah diharapkan pulang."

Tapi aku belum mau pulang, keluhku dalam hati. "Halo, Pa?"

Tidak seperti Papa yang biasanya. Tidak ada ketulusan yang dipaksakan, nada berandalan buatan, ataupun nada berusaha keras untuk menghibur, bahkan tidak juga terdengar prihatin. Papa menghela napas suntuk untuk mengawali percakapan. "Dimens memohon padamu agar kamu bersedia pulang. Dia bilang dia tahu kalau dia menghubungimu, kamu tidak akan mau mengangkatnya."

Aku hanya bisa diam untuk beberapa waktu. Papa pun kembali bicara. Tegas dan final. "Pulanglah sebentar."

Sebentar. Dia memaklumi kemarahanku?

"Dia bilang mau menjelaskan sesuatu, dia tidak mau kita salah paham dan dia hanya mau memulai penjelasan itu saat kita bertiga lengkap."

Lengkap, bersama-sama. Aku selalu menganggap Buk Laras sebagai sosok seorang bibi atau tante. Tapi kenyataannya, dia jauh lebih dekat daripada itu. Dialah yang menyiapkan bekal makanku, merangkulku sebelum aku berangkat dan setelah pulang sekolah. Buk Laras yang memastikan kenyamananku terjamin. Dia memarahiku seolah aku pantas mendapatkannya karena dia mengenal betul diriku. Buk Laras memang bukan istri Papa, tapi Buk Laras yang merawatku sejak kecil. Dia menyayangiku, peduli padaku. Dia menangisi nasibku dan Dimens seolah-olah kami anaknya sendiri.

Aku langsung mengembuskan napas, seluruh tubuhku ikut runtuh hanya untuk memikirkan akan kembali menjumpai Dimens. "Aku nggak tahu, Pa ... aku ...."

"Papa tahu. Tapi tidak bisakah ...?"

"Nggak dalam waktu dekat. Maaf, Pa." Aku memutus sambungan tanpa memberi kesempatan Papa bicara lebih banyak. Aku takut akan terbujuk lalu memenuhi permohonan Dimens. Hanya sebatas itulah ketegasan Papa, tapi aku bersyukur bukan Buk Laras yang maju untuk bicara padaku.

Begitu Buk Eva meninggalkan kelas terakhir kami hari ini, secara mengejutkan Mily langsung mengulurkan tangan ke belakang, padaku. "Ayo kita pulang! Kamu keberatan kalau kita mampir ke mal sebentar, ke Star n Case? Aku harus beli sekotak pulpen minyak."

"Dia suka punya banyak stok," jelas Denta sambil mengangguk.

"Pesta piyama," bisik Lindu di telingaku. "Menginap juga, Den?"

Gadis-gadis lain memperhatikan kami dengan raut tertarik. Mily segera menggusah wajah-wajah penasaran itu dengan tangannya. "Rumahku bukan rumah pesta, Lindu!"

Kami berempat turun ke lantai satu bersama-sama. Aku sudah cemas sepanjang jalan karena Soma selalu menepati janji. Jangan-jangan dia saat ini sudah menungguku di lapangan? Tapi kali ini sepertinya Lindu berniat untuk tidak melepaskanku begitu saja seperti yang biasa dia lakukan. Dia mengantarku sampai kami tiba di selasar kelas lantai satu, tapi kemudian aku melihat laki-laki berkemeja biru tua berdiri di sana, dengan kacamata dan kumis yang lupa dicukur. Rambutnya disisir ke atas dalam lengkungan seperti ombak. Papa mengangguk padaku. Akan merasa lebih normal jika Papa melambai, bukannya bersikap seformal ini padaku.

"Itu papaku," kataku pada Denta, Mily, dan Lindu. Mereka serempak berkata oh lalu bersama-sama melewati Papa sambil menunduk dan menyapa. Aku tinggal di belakang untuk menghadapinya. "Pa, sudah kubilang. Nggak hari ini." Suaraku kedengaran lelah, seolah semalam Mily tidak menyediakan fasilitas yang layak.

"Masuklah ke mobil, Nak, tolong." Papa menyentuh bahuku dan mengarahkanku ke mobil tingginya yang terparkir di barisan mobil penjemput dalam gang buntu sekolah. Dari kacanya yang agak gelap, aku tidak melihat Buk Laras juga ikut serta kalau tidak membuka pintu kursi tengah. Dia duduk di samping kursi pengemudi. Wajahnya mengerut dan dari sini, aku bisa melihatnya terus meremas-remas jemari.

Don't Make It a Wrong PlaceWhere stories live. Discover now