"Sulit sekali menemukan lahan yang belum dikuasai oleh Belanda atau yang benar-benar baru. Kalaupun ada, letaknya jauh sekali di dalam hutan, dan mereka mengkhawatirkan binatang buas atau makhluk halus yang menghuni tempat itu. Mereka nggak pernah menemukan rumah. Setiap hari, mereka masih mencari, selalu bepergian, mencoba menemukan rumah baru untuk mereka."
Suatu kaum yang terus mencari rumah, kalau memang benar ada, kenapa aku tidak pernah mendengarnya? Banyak hal yang belum pernah kubaca atau kudengar, tapi aku pernah membuat esai panjang tentang peristiwa dalam sejarah Indonesia pada tahun 1600-an dan tak sekali pun ada bacaan tentang kaum yang diceritakan Soma. "Dan mereka masih mencari hingga kini?"
Soma tersenyum. "Mereka yang tahu, Kak Matra."
"Bisa jadi kamu keturunan mereka."
"Mungkin saja." Dia kembali tersenyum sambil mengangkat bahu.
"Garsile, kemarilah! Aku siap mengantarmu ke Quuulaaaaa."
Aku bangun, menegakkan punggung, lalu mengulurkan tangan pada Soma. Dia menyambut uluran tanganku. Langit seolah kian rendah, merunduk hingga hampir memeluk kami. Reiz dan istrinya berdiri di anak tangga terbawah di selasar. Soma masuk ke rumah untuk mengambil tas kami. "Ingat, datanglah kemari setiap pagi untuk sarapan." Mama pasti sepeduli dia. Aku tersenyum dan mengangguk padanya.
"Apa perlu kujemput?" Semwel menggaruk rambut cokelat yang sudah berantakan hingga mencuat lebih panjang.
"Gak perlu, kalau membutuhkan sesuatu, aku dan temanku pasti datang ke sini."
"Setelah makan malam bersama di satu meja ...," Reiz mengentakkan kaki dan menendangi debu tipis di lantai semen selasar, "mustahil kita tidak menganggap satu sama lain keluarga."
"Benar, aku setuju dengannya. Kita keluarga."
Sesuatu berpijar dalam dadaku, membuatnya lebih hangat, meluas perlahan seperti guyuran air hangat. Aku tersenyum dan mengangguk pada Semwel, tak sanggup mengatakan apa pun sebagai gantinya.
"Keluarga, Garsile," kata Reiz, sepertinya lupa sepenuhnya bahwa itu adalah nama almarhumah anaknya. "adalah orang-orang terpenting bagiku. Aku akan mengorbankan jiwa dan ragaku untuk mereka, sama seperti yang akan mereka lakukan demi aku." Istrinya meraih tangannya. "Saat masih remaja dulu, aku sering mengeluh memimpikan keluarga-keluarga lain yang tampak lebih bahagia dan juga lebih hebat, tapi kenyataannya, aku tidak akan menjadi diriku yang sekarang tanpa keluargaku, orang-orang yang menemaniku di saat aku paling membutuhkan mereka. Mereka adalah keluargaku, bukan keluarga lain yang lebih bahagia ataupun yang lebih hebat itu."
Alangkah indahnya jika aku memang terlahir sebagai Garsile dan bukannya Grasila, kan? Aku menatap Semwel yang memandangi papanya dengan mata berkilauan. Apakah aku atau Dimens pernah memandang Papa dengan tatapan serupa? Kami mungkin melakukannya seandainya Mama masih hidup atau seandainya Dimens tidak memiliki penyakit itu.
Sepanjang perjalanan menuju penginapan Qula, Semwel mengoceh soal mesin-mesin kapal yang karatan. Aku hanya setengah mendengarkan. Di sebuah persimpangan, dia menunjuk ke kanan dan berkata kami sudah dekat. Soma langsung menghentikan langkah. "Sampai di sini saja kalau begitu. Kami akan meneruskan perjalanan sendiri."
Semwel menggaruk kepala, bergantian memandangiku dan Soma. Aku mengangguk padanya. "Ya," kataku, "Penginapan Qula pasti punya palang, kan? Kami akan bisa menemukannya. Kami nggak mau merepotkanmu lebih jauh lagi, Semwel."
"Jangan bilang begitu, kita ini keluarga, ingat kata Papa?"
Ingat. Aku akan selalu mengingatnya. Aku tersenyum padanya. Matanya yang cemerlang. Rahangnya yang kotak. Walau di sini dia sepertinya laki-laki bandel alih-alih sopan, tapi aku tidak bisa mengenyahkan perasaan bahwa aku dan Garsile bisa jadi satu orang yang sama. Jiwanya tertanam dalam ragaku, berbaur dengan jiwaku sendiri, itulah sebabnya Garsile batal lahir ke dunianya. "Tapi sungguh, aku akan mengunjungimu kalau membutuhkan bantuan. Aku nggak akan bohong padamu. Keluarga tidak membohongi keluarganya. Kita saudara, kan?"
Dia tertegun. Sesaat kemudian matanya berkaca-kaca. "Kita saudara," katanya seraya mengangguk menegaskan.
"Kalau begitu sampai jumpa lagi." Aku menggoyangkan telapak tangan. Soma membungkuk. Kami melangkah mundur sambil membelok ke sebuah gang yang ditunjuk oleh Semwel tadinya. Dia tetap berdiri di tempatnya, melambaikan salam dengan antusias.
Akhirnya dinding sebuah bangunan melenyapkan Senwel dari pandangan kami. Langkahku seketika terhenti. Rongga dadaku adalah ruang hampa yang tak tersentuh dan aku hanyalah parasit yang akan mati kalau organ-organ di dalamnya tak berfungsi. Mataku terpejam. Aku merasakan tangan di punggungku. Kami masih punya waktu sampai pukul 06.30 WIB di Bumi. Dan aku tidak tahu sudah berapa jam yang berlalu.
"Kamu bisa memiliki mereka untuk selamanya."
YOU ARE READING
Don't Make It a Wrong Place
Adventure"Kak Matra pikir aku bisa pulang kalau gak beli bensin di sini?" "Harus ... harus beli di sini?" "Iya, lah! Kalau beli di tempat lain, sama saja kayak buang-buang uang. Tangkinya akan terisi, tapi aku gak akan bisa pulang." "Memangnya kenapa? Rumah...
Wrong Affection
Start from the beginning
