"Kupikir kamu satu dari mereka yang berbeda, apakah aku salah? Aku harusnya salah. Ayo, mengaku padaku."
Langkahku melambat. Aku bisa melihat sol pink sepatuku meragu di dekat kaki kursinya. "Maksudmu?" Teman-teman sekelas satu per satu melalui kami untuk mencapai pintu masuk.
"Caramu memandang bocah itu; kamu jatuh cinta padanya. Bukannya kamu harusnya nggak begitu?"
"Bocah mana yang kamu maksud?"
"Apa kamu pernah berkeliaran dengan orang selain bocah itu?"
"Kenapa itu penting buatmu, Lindu?" Giliranku melirik embernya. "Kamu punya konstruksi mainan lain yang harus digarap, kan? Kenapa mempedulikan aku?"
"Karena selama ini kupikir kamu berbeda. Kamu nggak cuma berkenalan dengan laki-laki dan jatuh cinta secara nggak wajar pada mereka." Dia cukup lama terdiam. Aku mulai merasakan bayangan di kejauhan, dari pasang-pasang mata di kelas yang tertuju pada kami. "Tanpa alasan maksudku. Kamu punya masalah lain untuk dipikirkan dan itu seharusnya cukup untuk membuatmu paham bahwa kamu nggak seharusnya ceroboh mengambil keputusan."
"Terus terang sajalah, Lindu, maksudmu itu apa?"
"Kamu jatuh cinta pada bocah itu, lihat aja caramu memandangnya—"
"Nggak." Aku berpaling dengan lelah darinya.
"Kamu memandangi dia seolah-olah kamu nggak akan selamat dari kematian tanpa kehadirannya." Aku khawatir itu benar. "Seolah-olah cuma dialah orang yang paling memahamimu. Kamu ... jatuh cinta padanya," simpulnya kembali.
Aku tidak mengerti kenapa, tapi aku mulai menikmati ini. Aku ingin tahu ujung dari perdebatan ini. Di belakangku, lorong belum menunjukkan tanda-tanda kehadiran guru Seni Budaya kami. Dan anak-anak dari kelas lain sudah masuk ke kelas masing-masing sehingga di lorong ini praktis hanya ada aku dan Lindu.
"Kupikir kamu nggak akan begitu." Lindu mengamati diamku dan menganggapnya sebagai konfirmasi bahwa dia boleh kembali mengoceh. "Makin hari kamu jadi makin parah, seperti orang kasmaran. Ke mana-mana sama dia, nggak lagi bawa bekal makan. Kamu berubah."
"Bukannya itu bagus? Daripada hanya duduk sendirian di kelas tanpa teman."
"Apa salahnya duduk sendirian di kelas tanpa teman? Kamu memang sulit sekali ditembus, nggak banyak yang bisa berteman denganmu."
"Nggakbanyak?" Aku mendesah. "Lindu, lihatlah di belakangmu." Tanganku terangkat pada orang-orang di kelas yang kini menjadikan kami tontonan mereka dan segera menunduk waktu tahu aku menyadari kehadiran mereka. "Bukan nggak banyak, tapi nggak ada yang bisa berteman denganku, karena mereka— Kalian, nggak mau. Soma menawariku pertemanan dan aku sekarang punya teman, nggak lagi merasa sendirian, lalu kenapa aku harus dituduh macam-macam hanya karena ingin berteman?"
"Dituduh macam-macam? Aku nggak menuduhmu. Cuma aneh karena kesannya kamu jadi lebih bahagia hanya setiap kali bersama dia. Seolah tanpa dia, hidupmu suram sekali, apa yang kamu miliki nggak pantas dihargai, dan kamu sangat ingin menukar semuanya dengan bocah itu."
"Memang."
Lindu ragu-ragu menelengkan kepala. "Kenapa?"
"Kenapa? Kenapa gimana? Semua orang berpikir aku tertular HIV karena kakakku. Dan kamu masih tanya kenapa? Nggak ada yang mau main sama aku dan kamu masih tanya kenapa?"
"Kamu lebih sedih karena orang-orang menudingmu menderita penyakit bohongan daripada sedih karena kakakmu terkena penyakit sungguhan?"
Sekejap lalu kami berdiri di lorong kelas yang terbuka ke arah selatan, ditonton oleh puluhan teman yang penasaran. Sekejap kemudian hanya ada kami di atas lantai putih, berpandangan dan berusaha saling menjangkau makna ucapan satu sama lain.
Penyakit bohongan. Penyakit sungguhan.
"Kupikir selama ini kamu membatasi diri dari kami karena kamu bersedih, kakakmu sakit. Kamu hidup dalam bayangan tentang kakakmu. Tapi ternyata kamu membatasi diri dari kami karena kamu pikir kami mengucilkanmu gara-gara kakakmu ODHA? Jangan bilang selama ini kamu sibuk mengasihani diri sendiri sampai lupa bahwa kakakmu juga membutuhkan dukungan dari orang-orang terdekatnya?"
Lindu bukan lagi bocah laki-laki berhobi eksentrik yang suka membawa berbagai macam kesenian unik ke sekolah. Dia lebih terasa seperti laki-laki dewasa yang hidup dan ada di depanku untuk memperingatkanku bahwa dia bukan cuma pajangan di kelas.
"Pernahkah kamu tersenyum saat sedang bersama kakakmu? Apakah kamu ingat untuk nggak merengut di depannya karena dia mengidap penyakit itu? Daripada sibuk menyenangkan hati bocah itu, kenapa kamu nggak sibuk menyenangkan hati kakakmu saja? Yang jelas-jelas adalah keluargamu."
"Kamu mau aku menghambakan diri pada kakakku?"
"Kamu lebih memilih menghambakan diri pada bocah itu, yang bukan siapa-siapamu?"
"Dia sekarang temanku, Lindu."
"Dan kakakmu bukan siapa-siapamu?"
Jauh sekali dalam hati, aku sudah tahu jawabannya. Sedari awal, Lindu benar. Walau aku tidak tahu alasan dia mengajakku berdebat, dia benar.
YOU ARE READING
Don't Make It a Wrong Place
Adventure"Kak Matra pikir aku bisa pulang kalau gak beli bensin di sini?" "Harus ... harus beli di sini?" "Iya, lah! Kalau beli di tempat lain, sama saja kayak buang-buang uang. Tangkinya akan terisi, tapi aku gak akan bisa pulang." "Memangnya kenapa? Rumah...
Wrong Assumption
Start from the beginning
