Kakiku sudah mengempas lantai vinil sebelum aku sempat berpikir dua kali. Tapi saat duduk, aku memikirkan kecanggungannya. Parah sekali di antara kami. Aku bangkit, meremas-remas tangan dan memejamkan mata sambil mondar-mandir dalam kamar. Aku jarang sekali mendengar langkah kaki Dimens di atas. Apakah memang karena lapisan betonnya tebal sekali? Tapi aku tetap saja bertanya-tanya, apa yang dilakukannya sepanjang waktu? Bagaimana bisa dia setenang itu? Dia dulu tidak pernah bisa meletakkan bokong di atas kursi lebih dari dua jam. Dia merasa harus menemui semua orang di dunia ini.

Tiga tahun, Matra. Suaranya terngiang lagi di kedua telingaku. Aku meraup ponsel di kasur untuk mengecek waktu. Pukul 22.32. Kuputuskan untuk membuka pintu kamarku, menyeberangi dapur, dan menaiki tangga. Sesampainya di anak tangga teratas, aku merasakannya kembali, perasaan kebas di seluruh tubuh yang melemahkan kaki-kaki. Pintu kamar Dimens kelihatan seperti gerbang menuju hutan di malam hari.

Jemariku basah, hangat dan dingin secara bersamaan. Aku melangkah ragu-ragu, berharap pintu itu berubah menjadi salah satu kampus atau kedai di Inggris yang kukunjungi dengan Soma kemarin, tapi itu malah lebih mustahil daripada teleportasi.

Hidungku hampir menyentuh papan pintu. Sebelum mengetuk, aku mendekatkan telinga ke pintu, mencoba mengenali situasi di dalam sana. Dan seluruh keanehan datang seperti bola basket raksasa yang terbang langsung menghantam kepalaku. Aku ada di atas sini bukan karena bujukan Papa ataupun Buk Laras. Aku berada di depan pintu ini karena mauku sendiri. Ludahku sarat di tenggorokan. Kalau bepergian secara ajaib tidak memungkinkan, aku tidak akan memutuskan untuk menemuinya.

"Kak Dimens?" panggilku, mengejutkan diri sendiri. Apa yang kupikirkan? Kenapa tidak mengetuk pintu saja? Dengan begitu aku masih punya opsi untuk pergi karena ada peluang Dimens menolak untuk ditemui Papa atau Buk Laras, dua orang yang menurutnya paling mungkin mengetuk pintunya.

Pintu terbuka dan memperdengarkan bunyi seperti kumbang yang berderik selamanya. Perlahan, sangat lambat, muncul hidung panjang Dimens yang berujung lancip, lalu mata cemerlang di sekeliling sumur penderitaan, dan rahang tirus yang semakin tampak seperti kulit kering di atas tulang. Matanya menyorot langsung ke dalam mataku.

Aku memikirkan kalimat pertama yang harus kusampaikan padanya setelah tiga tahun tidak menyapanya. Kamar Dimens bersih seperti biasanya. Selimut membentang rapi di atas kasur putih, terlipat di dekat bantal biru tua pudar yang berjajar. Dia masih menggemari warna itu, warna favorit kami. Teko air elektrik terisi setengah bagian di sebelah lampu tidur bertudung hitam. Sapu tersandar di belakang jemuran besi hitam di sebelah nakas. Buku-buku tertumpuk di nakas itu.

"Itu yang membuatmu tenang sekali?" Aku mengangguk ke sela pintu. Dia menoleh ke belakang. "Buku-buku itu?"

"Banyak yang masih dikemas dan baru dikirimkan Sabtu besok."

Aku mengangguk. "Masih baca yang cetak? Kenapa nggak mencoba yang digital?"

"Aku sudah menghabiskan sebagian besar waktuku di gadget untuk menyapa teman-teman di jejaring media sosial."

"Teman-teman di ...?"

Dia mengangguk sambil menunduk, seolah jemari kakiku lebih membuatnya nyaman daripada aku sendiri. "Banyak yang sepertiku."

Yang mengunci diri dalam kastil dan menunggu seorang gadis melompat masuk ke kamarmu atau yang mengidap AIDS?

"Mereka nggak mengurangi kuantitas kegiatan di luar, tapi sebisa mungkin mengurangi risiko mendapatkan luka fisik karena ... kamu tahu, kan? Luka seperti itu mungkin nggak akan pernah sembuh di kulit mereka."

Mereka. Bukankah seharusnya dia bilang kami? Aku mengangguk lagi. "Kalau punya kesempatan untuk pergi tanpa melukai dirimu sendiri, apakah ...." Pertanyaan itu muncul sebelum aku sempat mengatur kata-kata, tapi karena sudah telanjur keluar, aku melanjutkannya. "Kamu mau pergi ke luar sana?"

Dimens melirik ke belakangku. Aku mengikuti tatapannya, tapi tangga kosong. Hanya lukisan bunga dalam vas, lebarnya satu rentangan tanganku di atas bordes, yang kulihat. "Papa yang menyuruhmu melakukan ini sekarang?" Nadanya mendadak jadi seperti tentara yang bersiaga, padahal sejak tadi dia terdengar kalem.

"Menyuruhku apa?" Opsinya banyak kalau menyangkut kamu. Menyuruhku sekadar menemuimu, menyuruhku menjengukmu, menyuruhku menghabiskan waktu denganmu, menyuruhku menjadi adik yang baik untukmu.

"Jangan turuti kemauannya yang ini. Kembali saja ke kamarmu. Aku gak akan mengubah pikiranku." Samar-samar aku bisa melihat kulit di sekitar mulutnya gemetar. Mata Dimens berkaca-kaca, seolah sejak tadi dia sudah menanti saat ini tiba. Dan ada pertentangan yang sedang terjadi dalam kepalanya. Dia berusaha keras mempertahankan sesuatu, sementara bagian dirinya yang lain ingin berteriak atau mengamuk.

"Pikiranmu apa? Aku cuma mau bilang ...." Sekarang barulah aku sadar. Betapa konyolnya itu. Aku mau bilang apa tadi? Kenal orang ini, yang bisa mengajakmu berteleportasi ke Inggris padahal teleportasi sempurna skala subatomik saja tidak memungkinkan? Aku mau mengatakan semua ini pada orang seperti Dimens yang membaca buku-buku sains setebal lemari satu tingkat?

Rahangku berbenturan. Aku menatapnya dan berusaha memintanya percaya pada sesuatu yang bahkan tak pernah didengarnya, sesuatu yang tak bisa kuungkapkan tanpa kedengaran konyol.

"Jangan ...," bibir pucatnya benar-benar gemetar, "jangan pernah datang kalau hanya ... hanya disuruh Papa." Pintu pun melayang ke depan wajahku seperti kertas yang disembur angin, tapi aku bergerak cepat. Tanganku menjegal daun pintu itu. Aku mengatakannya dalam kesempatan tipis itu.

"Papa nggak menyuruhku apa pun kali ini." Tapi sekali pun dia sakit, tenaganya luar biasa. Aku terempas ke belakang, terengah-engah dua meter dari kamarnya. Dengan satu sentakan napas, aku memandang tajam ke depan, seolah dengan melakukan itu, Dimens bisa melihatku dan meminta maaf karena telah mengusirku.

Kalau memang itu maunya, dia akan mendapatkannya. Aku datang kemari dengan kemauanku sendiri, tapi dituduh hanya karena menuruti perintah Papa. Dia tidak akan memahami apa pun. Selama ini dia sibuk menolak semua orang terdekat yang datang kepadanya. Dan dia akan terus begitu.

Don't Make It a Wrong PlaceWhere stories live. Discover now