Terdengar bunyi kertas dibalik, tapi pelan sekali. Aku masih mempertahankan kontak dengan Pak Seno sambil berdeham-deham, pura-pura berpikir. "Tahan sebentar lagi, akan kucari di internet," kata Lindu.
Aku bisa melihat bayangan Pak Seno menggeleng-geleng bahkan ketika kepalanya sama sekali tak bergerak. Wajah lonjong Pak Seno adalah jenis wajah yang keseluruhannya ikut bahagia saat bibirnya tersenyum sampai mencapai telinga, tapi juga yang keseluruhannya ikut sebal dan muram saat kerut di dahi, mata, dan bibirnya melengkung ke bawah.
"Ini, ada perang ini," bisik Lindu, nyaris tanpa suara. Hanya desir lidah di antara gigi.
Mulutku sudah terbuka. "A—"
"PR untuk Matra, sebutkan dan jelaskan peristiwa sejarah Indonesia yang terjadi sepanjang tahun 1600. Minimum dua lembar double folio."
Dua lembar double folio, bagus sekali. Aku berharap pagi yang indah akan berujung pada hari yang menyenangkan. Tapi bahkan di kantin, Soma menertawakan hukumanku itu saat kuceritakan padanya kejadian di kelas Sejarah. Anehnya, melihatnya bersikap santai dan penuh humor membuatku merasa lebih longgar. Aku berani taruhan seulas senyum baru saja menjengit di bibirku.
"Berarti, kamu harus menyelesaikan PR-mu itu kan, Kak Matra, kalau nggak ingin PR itu mengganggu perjalanan kita kembali ke Inggris?"
"Kapan kita akan kembali ke sana?" Ada dorongan kuat yang menyuruhku pergi ke perpustakaan, mencari di antara kolom koran berita tentang kepergian sepasang remaja Indonesia ke Inggris, mengunjungi kampus-kampus di sana tanpa perlu beli tiket pesawat. Mereka adalah penjelajah ruang dan waktu. Superkeren dan jangan tanya, pastinya menakjubkan. Tapi aku tahu jelas-jelas kepergian itu hanya diketahui oleh kami. Tidak ada yang mengalami gangguan ataupun bantuan khusus akibat perjalanan kami. Begitulah, dunia masih terus berputar selagi kami berlari-larian di atas rerumputan halaman depan kampus di Inggris.
"Besok juga, kalau kamu mau."
Mau, aku sangat mau. Dan kemudian lusa kita akan mencoba Swedia, lalu Swis, dan Belanda, ada Italia, juga Prancis. Setelah Eropa masih ada Australia, Afrika, Amerika, Antartika, ada juga Arktik yang tidak masuk teritorial negara mana pun. Selanjutnya, kalau aku menginterpretasikan penjelasan Soma dengan tepat, adalah luar Bumi.
Dia sedang memperhatikanku berpikir. Soma pun berusaha sekuat tenaga untuk mendekatiku sampai setengah badannya melintang di atas meja panjang kantin. "Tapi nggak akan ada keberangkatan sampai PR pribadi Sejarahmu selesai."
Sebelum ini, seingatku, aku tidak pernah langsung mengerjakan PR di hari yang sama ketika PR itu diberikan. Tapi ancaman Soma efektif sekali untuk membuatku mencari informasi mengenai berbagai peristiwa sejarah Indonesia di tahun 1600. Belanda tiba pertama kali di Pelabuhan Banten pada tahun 1596 di bawah pimpinan Cornelis de Houtman. Tapi karena diusir oleh penduduk pesisir, Belanda datang lagi pada tahun 1598, kali ini di bawah pimpinan Jacob van Heck. Pada tahun 1602, Belanda mendirikan VOC atau kongsi dagang. Gubernur Jenderal VOC pertama memerintah tahun 1610-1619 di Ambon. Selain pengangkatan gubernur jenderal lain dan persetujuan-persetujuan penetapan wilayah kompeni, aku mencoba mencari informasi yang lebih menarik, misalnya skandal atau korupsi dalam pemerintahan, tapi tidak ada publikasi sesuatu yang sekontroversial itu.
Ada artikel di suatu laman yang menyebutkan bahwa kedatangan Belanda itu menyebabkan banyak warga di berbagai daerah yang mengalami penggusuran karena wilayah mereka diklaim oleh para serdadu. Mudah membayangkannya, amunisi senjata beterbangan di udara kalau ada yang berani angkat senjata. Kalau mau bertahan hidup, mereka harus meninggalkan rumah mereka, desa mereka, bahkan mungkin tempat kelahiran mereka.
Aku meletakkan tangan yang masih menggenggam pulpen di atas meja, lalu menidurkan kepala di puncak empuk kursi biru tua bersandaran cekung mengikuti bentuk punggungku. Anak-anak terpisah dari orang tuanya, kebun mati diinjak-injak, hewan ternak hidup gelisah mendengar keributan brutal, debu menutupi medan perang, jejak kaki dari langkah-langkah bingung dan putus asa di rawa-rawa saat pergusuran terjadi.
Jahat rasanya bersyukur karena peperangan itu meletus dulu, tidak menyerangku—betapa egoisnya—tapi bagaimana cara lain untuk menghargai keberanian para pejuang di masa lampau selain bahwa aku berterima kasih secara tulus karena mereka telah gagah berani berperang melawan para penjajah? Coba lihat semisal aku yang hidup di masa mereka. Mungkin aku akan jadi orang pertama yang meraung-raung seperti banteng, tapi tetap saja akan diringkus paksa dengan mudah karena tak punya tenaga dan keberanian seperti para pahlwan.
Apakah Soma pernah berkunjung ke dunia yang itu? Pada bagian sejarah yang itu. Bisakah dia membawa kami kembali ke masa lalu? Apakah perpindahan ruang itu hanya berlaku secara linier mengikuti hukum waktu?
Tapi kalau aku diturunkan langsung di perang itu, apa yang akan kulakukan? Berlari ke hutan, memanjat pohon, hidup selamanya di sana—sampai mati. Minggir ke pesisir, menemukan gua dan hidup kembali sebagai manusia purba. Dan semakin jauh pemikiranku, semakin banyak tempat yang ingin kukunjungi bersama Soma. Ini akan membutuhkan waktu seumur hidup.
Aku membuka mata, menghela napas dan menunduk untuk menghitung jumlah halaman yang sudah kutulisi. Tinggal satu halaman lagi dan aku akan kembali secepatnya ke Inggris.
YOU ARE READING
Don't Make It a Wrong Place
Adventure"Kak Matra pikir aku bisa pulang kalau gak beli bensin di sini?" "Harus ... harus beli di sini?" "Iya, lah! Kalau beli di tempat lain, sama saja kayak buang-buang uang. Tangkinya akan terisi, tapi aku gak akan bisa pulang." "Memangnya kenapa? Rumah...
Wrong Deportment
Start from the beginning
