📚 Spotlight Romance of December 2024 by Romansa Indonesia 📚
Penulis dengan cita-cita yang besar, diplomat muda yang tidak ragu, dan tiga kali lamaran.
Seorang diplomat Indonesia, Nicholas Wiradikarta, memiliki perasaan terhadap penulis dengan nama...
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Jakarta, Indonesia 2018
Pukul tiga sore, seorang pria berusia 50-an awal terlihat keluar dari Mercedes Benz S-Class berwarna hitam yang dikendarai oleh supir. Kaki jenjangnya melangkah dengan cepat menuju konter resepsionis rumah sakit besar di Jakarta Selatan—yang kebetulan dekat dengan kediamannya. Bahkan ia meninggalkan anggota keluarga yang sedang bersiap untuk pergi makan malam hanya untuk menjenguk seseorang yang sudah lama tak ia lihat.
"Saya mencari pasien yang dirawat di suite room. Apakah saya bisa mendapatkan nomor ruang rawat inapnya?" tanya pria bertubuh tinggi itu dengan cepat. Nadanya terdengar khawatir dan mencoba untuk mengatur napasnya.
Mata perawat tersebut tak berkedip saat melihat pria yang berbicara dengannya. Kemudian perawat tersebut langsung mengalihkan pandangan ke layar komputer yang selalu menyala. "Baik, Pak. Siapa nama pasiennya?"
Lelaki itu langsung meminta kertas dan menuliskan nama pasien yang dimaksud dengan cepat, lalu menyerahkan kertas itu pada perawat. "Hiram Soerjapranata."
Setelah mendapatkan instruksi dari perawat, pria itu berjalan hingga ia sampai di suite room. Iris cokelat pria itu tampak menangkap pemandangan seorang pria yang duduk di ranjang rumah sakit. Tampak pria tersebut langsung menarik kedua sudut bibirnya dengan antusias begitu melihat kedatangan teman baiknya.
"Hai Remus! Aku kira kamu bercanda saat mengatakan kamu berada di Jakarta. Kirana sedang mengajak Anindya makan siang di PIM dan membelikan titipanku juga." Hiram berujar dengan nada senang setelah melihat perwujudan dari pria yang sudah ia nantikan sejak tadi.
Mata Hiram hanya memandangi lelaki paruh baya dengan tubuh tinggi sedang berdiri terpatung dari dekat pintu. Remus tak menanggapi ucapan Hiram dan hanya diam sembari melihat Hiram dengan perasaan tak percaya.
"Remus, maaf, aku tidak bisa menghampirimu jika kamu masih berdiri di sana." Hiram melanjutkan ucapannya.
Remus Wiradikarta pun tidak sadar bahwa ia sudah melihat temannya dalam kondisi yang tidak seperti biasanya. Ia langsung melangkahkan kakinya untuk mendekati lelaki tersebut. "Oh, ya. Maaf."
Hiram Soerjapranata sudah menjalani hidupnya dengan baik. Anak tunggal dari seorang ayah yang berprofesi sebagai dokter bedah terbaik di Indonesia, bahkan Asia Tenggara—yang menempuh pendidikan di Amerika Serikat dan mendapatkan pengakuan dari Presiden Indonesia, dan juga, ibu yang belajar arsitektur sembari menekuni hobi membuat pakaian. Latar belakang orang tua yang menarik tersebut membuat Hiram memilih untuk kuliah arsitektur dan perencanaan kota, lalu menjadi arsitek sembari mengelola kekayaan keluarganya. Setelah selesai studi, Hiram menikah dengan teman kecilnya, Kirana Hadiwiryono, seorang arsitek lanskap dari keluarga ningrat dan salah satu putri dari pria yang beberapa kali menjabat sebagai menteri di kabinet.
Sementara Hiram bertemu Remus, yang saat itu menjadi putra dari keluarga diplomat yang belajar Hubungan Internasional, saat mereka melanjutkan studi di Oxford dan berujung menjadi teman yang sangat dekat. Saking dekatnya, Hiram hanya memikirkan Remus saat kondisinya tak lagi berada dalam kondisi prima dan mengundangnya untuk datang ke suite room, tempat Hiram menjalani perawatan, hanya untuk memberikan sebuah pengumuman.
"Aku akan meninggal."
"Aku tidak datang untuk mendengarkan kata-katamu itu."
"Sungguh, Remus. Aku akan meninggal."
"Kenapa kamu memberitahukan kematianmu dengan seyakin itu?"
"Kankerku sudah stadium empat, Remus. Hanya Kirana dan, sekarang, kau yang tahu."
"Berarti Anindya tidak tahu?"
Kedua lelaki itu langsung bertukar pandang saat Remus menanyakan putri tunggalnya Hiram. Giandra Euphrasia Anindyaswari Soerjapranata—sebenarnya nama panggilannya adalah Giandra, namun orang tuanya, dengan penuh kasih dan melihatnya sebagai penyempurna, memanggilnya Anindya. Hiram merasakan bahwa hatinya memikirkan apa yang akan terjadi pada Kirana dan putrinya setelah ia meninggal dan Hiram sudah memikirkan itu dalam waktu lama. Pengobatannya di Singapura beberapa tahun sebelumnya memang berhasil, namun ia tak memprediksi bahwa Hiram kembali dikunjungi oleh teman lama.
Nama teman lamanya adalah kanker paru-paru.
"Anindya hanya tahu kalau aku dirawat di rumah sakit karena terjatuh di garasi. Aku sudah berjanji padanya untuk mengantarkan dia ke ITB di Mei nanti!" Hiram berkata dengan perasaan senang. "Lumayan aku masih bisa hidup setahun lebih lama."
"Kamu pikir setahun itu cukup?" Remus kembali mempertanyakan perkataan temannya dan melotot. "Jangan berobat di Indonesia, Hiram. Temui ayahmu di Singapura, berobat ke Jerman, atau apalah ... pokoknya kamu harus memperpanjang durasi hidupmu."
Memperpanjang durasi hidupku. Lelaki yang kerap duduk di atas ranjang itu pun hanya membatin. Ia berusaha untuk menahan dirinya sendiri untuk merespon dengan tone yang tidak baik.
Pada awal Hiram mengalami sakit kronis, lelaki itu kerap memikirkan berbagai cara untuk menambah jatah hidupnya di dunia. Meskipun ayah Hiram dan ibu mertuanya merupakan orang yang mencari penghidupan (dan rekognisi) dari kontribusi mereka sebagai dokter, tetapi Hiram sudah kehabisan cara untuk menolong dirinya sendiri.
Sehingga Hiram sudah jauh lebih ikhlas apabila penyakit yang ia derita ini akan menghentikan langkahnya untuk bertahan lebih lama di dunia.
"Kalaupun aku pergi lebih dahulu, setidaknya Anindya akan cepat mengerti."
Sayangnya, setelah mendengar perkataan Hiram, Remus tidak sependapat. Lelaki itu mengetahui dengan pasti kalau Hiram dan Kirana sangat memperhatikan Giandra, anak perempuan satu-satunya, di tengah kesibukan. Terutama saat awal pernikahan, mereka begitu mendambakan untuk memiliki anak dan, setelah beberapa tahun menikah, mereka baru memiliki Giandra.
"Apa kamu tidak mau melihat putrimu lulus? Mendapatkan pekerjaan pertamanya? Hingga memperkenalkan pacarnya yang baik padamu?"
"Remus, aku percaya Anindya akan memiliki hidup yang sangaaaaaat baik. Aku tidak akan membiarkan putriku memiliki pacar yang jelek rupa dan jelek sifat—jika sampai terjadi, aku akan menggentayangi cowok jelek itu."
Hiram tertawa pelan setelah menyelesaikan kalimatnya. Remus sendiri merasa heran dengan tone bicara Hiram yang masih terdengar positif saat hidupnya merasakan kemalangan yang besar.
"Bahkan kamu masih merespons dengan perasaan sepositif ini saat membicarakan putrimu," ucap Remus dengan perasaan pasrah dan nada lirih. "Sementara aku akan kehilangan teman lagi."
Kedua pria itu terdiam dan saling memandang. Persahabatan yang sudah lama terjalin sejak di Inggris telah membangun ikatan yang jauh lebih erat dibandingkan persahabatan orang lain. Tak hanya di antara mereka berdua, tetapi juga antar keluarga mereka.
"Aku tidak pernah salah menilaimu sejak pertama kali bertemu di Oxford." Hiram mengatakannya sembari menaikkan sedikit ujung bibirnya. Jemarinya langsung mengambil buku catatan yang tergeletak di atas meja samping ranjang rumah sakit dan juga kacamata khasnya. "Well, aku akan memberitahu sesuatu, tapi aku punya permintaan untukmu."