BAB 35

80 16 0
                                    

"Apakah yang kulakukan ini benar? Dayang Nimas, apakah yang kita lakukan ini sudah benar?" tanya Mo entah untuk yang ke berapa kalinya.

Mereka terpaksa mengikuti keinginan sang pangeran mahkota karena tidak ada yang bisa menentang keinginan itu, bahkan buku tatakrama yang sudah mejadi pedoman bagi kerajaan ini.

Mo sudah selesai mengurus kepindahan sang pangeran mahkota ke Payon Omah lain--dan pikiran itu membuatnya bergidik ngeri--dan kini sang pangeran mahkota sudah berada di dalam payon omah ini.

"Aku hanya menjalankan perintahmu, Mo," jawab Nimas, membuat Mo semakin meringis ketakutan.

Nimas sedikit tersenyum karena melihat Mo yang ketakutan seperti ini. Namun, tidak ada yang dapat mereka lakukan ketika sang pangeran mahkota sangat menginginkan sesuatu. Sang pangeran mahkota bahkan mengatakan kalau ia sendiri yang akan menghadap para tetua dan memohon ampunan.

"Bagaimana jika mereka melakukan persatuan tanpa mendengarkan tanggal baik untuk melakukannya, Dayang Nimas?" tanya Mo lagi.

"Langit pasti akan merestui mereka, Mo. Kita akan menyambut kelahiran sang pangeran kecil jika mereka melakukannya dan hal itu membuahkan hasil."

"Dayang Nimas, tidakkah Dayang memikirkan apa yang aku pikirkan?" Mo mulai terlihat kesal karena jawaban Nimas.

Nimas akhirnya memutuskan untuk bicara serius. "Mo.. Aku yang mengurus sang pangeran mahkota sejak dia lahir. Sifat bisa berubah, Mo. Tapi satu hal yang tidak akan bisa berubah dari sang pangeran, hatinya. Dia tidak pernah mau menyulitkan orang lain dan tidak ingin orang-orangnya menderita. Jika sang pangeran sudah memutuskan untuk tinggal bersama dengan Raden Ayu, itu artinya dia sudah memiliki jalan keluar untuk permasalahan ini. Drastha tidak akan menyeret kita ke dalam masalah ini, Mo. Aku yakin itu."

Perlahan, wajah Mo berubah tenang dan Nimas merasa senang karena Mo mengerti apa yang ia katakan.

***

Tatjana duduk di sebuah kursi yang ada di kamar yang kini menjadi miliknya ini--oh bukan--milik dirinya dan juga Taraka, suaminya. Ia tidak tahu kalau di Payon Omah ini hanya ada dua kamar. Kamar utama dan kamar yang akan ditempati oleh dayang kepercayaannya. Tentu saja kamar itu sudah ditempati oleh Wening.

Sebelum dirinya masuk ke kamar ini, dirinya mengatakan kepada Wening kalau ia akan tidur dengan sahabatnya itu. Namun, Wening menolak dan mendorong tubuhnya untuk masuk ke dalam kamar ini.

Sementara di sisi lain kamar, Taraka sedang dibantu oleh beberapa orang pengawal laki-laki untuk mengganti pakaiannya. Mau tak mau, Tatjana yang hanya bisa duduk pun ikut menonton bagaimana Taraka melepaskan semua pakaiannya.

Lalu, ketika tidak ada lagi yang menutupi tubuh bagian atas pria itu, Tatjana bisa melihat sangat banyak bekas luka di tubuh itu. Ia sedikit meringis, memikirkan bagaimana Taraka bisa menahan semua itu.

Alam bawah sadarnya mendesah kecewa ketika tubuh itu kembali ditutup dengan pakaian tidur pria itu. Astaga, Tatjana. Apa yang kamu pikirkan?

Tidak. Itu pasti adalah pikiran Manika. Ya. Manika yang bersalah atas semua pikiran itu.

"Tinggalkan aku," kata Taraka dengan nada yang sangat mendominasi, yang bisa membuat siapapun mematuhi ucapannya.

Begitu pula dengan Tatjana. Entah mengapa, ia berdiri dan akan melangkah keluar dari kamar itu. Namun, Taraka menghentikannya dengan berkata, "Manika? Kamu akan meninggalkanku yang sudah mematahkan semua peraturan untuk tinggal bersamaku?"

Tatjana diam membeku dan membalikkan tubuhnya sambil tersenyum merasa bersalah. "Kamu yang bicara seperti itu--tinggalkan aku--seolah kamu hanya ingin sendirian."

"Jika bersama denganmu, maka kata 'aku' bukanlah untuk diriku sendiri, Manika. Jika bersama denganmu, kata 'aku' artinya adalah aku dan dirimu," jelas Taraka.

Sialan. Jantungnya kembali berdebar hebat.

Jika Taraka hidup di zamannya di masa depan, Tarakan pasti sudah sangat terkenal sebagai pria buaya. Ucapannya bisa membuat siapa saja tersipu malu.

"Kita harus beristirahat," kata Taraka dan ia berjalan menuju ke arah ranjang mereka berdua. "Besok, kita akan menjalani hari yang panjang dan melelahkan, terutama ketika kita menghadap para tetua untuk menjelaskan tentang mengapa kita bisa tinggal satu atap begini."

Tatjana tidak ingin berbaring dengan pria asing seperti ini. Namun, rangkaian prosesi pernikahan membuat dirinya merasa lelah. Sekujur tubuhnya terasa remuk dan ia sangat memerlukan istirahat.

"Aku tidak akan mengganggumu. Kita hanya akan tidur, Manika," kata Taraka lagi.

Akhirnya, Tatjana berbaring di sebelah Taraka dan untuk beberapa waktu, mereka hanya menatap langit-langit kamar ini, tanpa bersuara.

Seharusnya, kesunyian selalu akan membuat suasana menjadi canggung, bukan? Namun entah mengapa, Tatjana merasa tenang. Ia merasa tenang hanya berbaring bersebelahan dengan Taraka seperti ini, tanpa bersuara. Ia merasa tenang karena tidak harus berusaha untuk memecah kesunyian.

Seolah dirinya dan Taraka adalah orang yang sudah lama saling mengenal sehingga kesunyian bukan lagi tentang perasaan canggung, namun cara tubuh mereka untuk saling menyapa.

Tatjana menyukai perasaan ini, berbaring bersebelahan tanpa bicara dengan pria asing ini.

"Pasti sakit," kata Tatjana pada akhirnya, karena dirinya tidak bisa menahal rasa ingin tahunya lagi. "Pasti sakit, dengan semua bekas luka itu di tubuhmu."

Taraka yang sedari tadi menatap langit-langitt kamar pun menoleh, dan entah untuk yang ke berapa kalinya, ia merasa kembali jatuh cinta kepada wanita yang ada di hadapannya ini. Selain dari depan, Manika juga sangat cantik jika dilihat dari samping.

"Kamu melihat bekas luka di tubuhku?" tanya Taraka.

Tatjana menganggukkan kepalanya.

"Tidak semua luka itu terasa sakit," jawab Taraka. "Sepertinya aku berhenti merasa sakit pada lukaku ketika aku mendapatkan luka ke tujuh. Aku mulai terbiasa setelahnya. Lalu.."

Oleh karena Taraka menggantungkan kata-katanya, Tatjana menoleh dan membuat Taraka kembali jatuh cinta. Manika dilihat dari depan dengan posisi berbaring seperti ini juga sangat terlihat cantik.

"Lalu?" tanya Tatjana, merasa ingin tahu.

"Lalu aku memikirkan kamu. Aku berusaha untuk menyelesaikan peperangan dengan cepat karena ingin cepat bertemu denganmu, meskipun sepertinya kamu tidak pernah mengirimkan surat kepadaku."

Tatjana kembali merasakan debaran pada jantungnya. Apakah adil jika dirinya merasakan perasaan yang seharusnya dirasakan oleh Manika? Debaran jantung yang seharusnya Manika rasakan.

Bersambung

Permata Dari RembulanWhere stories live. Discover now