BAB 15

522 82 2
                                    

Tatjana benar-benar menciptakan sebuah keributan. Seluruh rakyat yang berada di sana mulai gusar karena apa yang baru saja dikatakan oleh sang putri dari menteri perang itu. Wening yang tangannya ditarik oleh Tatjana pun menjatuhkan kendinya dan menarik tangan Tatjana, agar wanita itu berhenti. Ia juga memaksa Tatjana untuk berbalik.

"Yu, bersimpuh di tanah," kata Wening yang sudah lebih dulu melakukannya.

"Tidak akan pernah," jawab Tatjana yang sekali lagi menatap wajah Taraka.

Untuk apa bersimpuh di hadapan sesama manusia?

Wening menatap wajah Tatjana dengan tatapan memohon. "Yu.."

"Tidak. Kita ini manusia, bukan hewan. Kita memiliki tempat yang sama di bumi ini," jawab Tatjana dengan begitu lantang.

Entah mengapa, Tatjana merasa bangga dengannaoa yang ia lakukan, seolah apa yang ia lakukan di depan lelaki ini adalah hal yang benar. Tatjana merasa seperti ia memang seharusnya berisikap seperti ini.

Lalu, karena Tatjana yang tidak kunjung melakukannya, Wening akhirnya memukul kaki Tatjana, membuatnya bersimpuh di bawah kaki sang pangeran mahkota.

"Maafkan majikan abdi, Drastha. Dia sedang sakit dan pasti tidak menyadari kata-katanya sendiri," kata Wening.

Sementara Taraka hanya diam sambil memegangi kendi yang berisikan air yang seharusnya ia berikan kepada Wening. Ia hanya menatap ke arah wanita yang baru saja menatapnya dan bicara tidak sopan kepadanya.

"Sebenarnya, dia adalah seorang wanita yang bijaksana dan menghormati Raja. Tapi akhir-akhir ini, dia sedang sakit. Dia sangat menderita dan memiliki masalah dengan kepalanya. Maafkan majikan saya, Drastha," kata Wening lagi.

Permintaan maaf itu jelas tidak akan bisa meloloskan wanita kurang ajar itu dari hukuman. Dan juga, bukan wanita itu yang meminta maaf. Sekarang, wanita itu hanya menunduk sambil bersimpuh, sama sekali tidak terlihat seperti orang yang ingin mengakui kesalahannya.

"Abdi berjanji akan mengajarkannya lebih baik lagi. Dia melupakan banyak hal. Abdi berani bersumpah kalau sebelumnya, dia sangat menghormati Drastha."

Taraka lalu bertanya, "Siapa dia?"

"Dia adalah seorang putri dari menteri perang Kasim Aswanara," jawab Wening yang tidak berani mengangkat wajahnya.

Taraka mengerutkan keningnya, merasa tidak bisa menerima perkataan itu. Karena, Taraka sangat mengenali putri dari menteri perang hampir selalu bersamanya di medan perang itu. Setidaknya, ia mengenali putri menteri perang ketika ia masih kecil.

Taraka mengenali Manika sebagai seorang gadis yang sangat pintar dan sopan. Kepintaran Manika bahkan melebihi kepintarannya. Mereka sering berdebat tentang letak rasi bintang pada siang hari dan ketika malam hari, Taraka harus menerima kekalahan karena jawaban Manika lah yang paling benar.

Ia tidak bisa mengerti mengapa Manika berubah seperti ini. Semua tata Krama yang manika pegang sejak dulu sepertinya sudah hilang tanpa sisa.

Awalnya, Taraka ingin menemui Manika ketika semua acara ini sudah selesai. Ia ingin menemui Manika, Qiu-nya. Namun, ia sangat tidak mengerti dengan perubahan Manika. Taraka memang memanggil Manika dengan sebutan Qiu, yang dalam bahasa Tiongkok berarti musim gugur yang indah.

Begitulah cara Taraka mendeskripsikan Manika, teman kecilnya. Manika sangat cantik dan anggun, seperti musim gugur yang sangat indah.

Saat Taraka baru akan bertanya penyakit apa yang membuat Manika kehilangan semua kesopanannya, tiba-tiba saja seorang prajurit mendekatinya dan mengatakan sesuatu kepadanya. Prajurit itu mengatakan kalau ada berita besar yang sedang dibahas oleh sang raja, menyangkut peperangan yang mungkin akan terjadi. Mendengar itu, Taraka langsung bergegas untuk mengisi air di semua mangkuk kayu dan kendi yang disiapkan oleh rakyatnya. Pertama, ia harus menyelesaikan tugasnya terlebih dulu.

Permata Dari Rembulanحيث تعيش القصص. اكتشف الآن