BAB 1

1.3K 164 15
                                    

Tatjana membuka matanya dengan napas yang tersengal-sengal, seolah ia tidak bernapas selama beberapa menit. Paru-parunya terasa panas karena kekurangan oksigen, membuatnya yakin kalau dirinya tidak bernapas selama beberapa waktu. Berbeda dengan perasaan yang ia alami beberapa saat yang lalu, kini ia merasa lebih nyata. Ia terus bernapas dan menunggu hingga napasnya teratur hingga sadar kalau sekarang dirinya sedang menutup mata dan karena itu, perlahan, ia membuka matanya.

Hal pertama yang ia lihat ketika membuka mata adalah hamparan bintang-bintang yang begitu indah, ia seolah bisa melihat seluruh gugus dan galaksi dengan mata telanjangnya. Langit tidak lagi berwarna hitam, tapi berwarna ungu dengan banyak titik berkelip. Ia tersenyum karena entah bagaimana, ia tahu kalau sekarang dirinya sedang berada di bawah langit Balwanadanawa. Memangnya, ada tempat lain selain di Balwanadanawa, yang memiliki pemandangan bintang sebanyak dan seindah ini?

Tubuhnya terasa sakit, mungkin karena mimpinya tadi. Ya, ia tadi dirinya pasti bermimpi. Mimpi itu sangat tidak menyenangkan. Bahkan ia masih bisa merasa sensasi merenggang pada tubuhnya, seolah ia ditarik ke segala arah. Tatjana menggelengkan kepala, tidak ingin lagi mengingat hal itu. Lalu, ia berdiri dan  menatap sekelilingnya. Kemudian, ia menyadari sesuatu. Ini bukan Balwanadanawa, setidaknya bukan Balwanadanawa yang ia kenali. Bahkan ia sama sekali tidak mengenali tempat ini.

"Di mana ini?" tanya Tatjana pada dirinya sendiri. Tempat ini sangat gelap, hanya cahaya dari bulan yang membuatnya bisa melihat.

Lalu, Tatjana menyadari kalau ada yang tidak beres ketika ia melihat pakaian yang dikenakannya. Selama hidupnya, ia tidak pernah merasa memiliki pakaian seperti ini. Bukankah di Balwanadanawa ia harus memakai kebaya? Bagaimana ia bisa memakai pakaian seperti ini?

Ia kembali menatap ke sekitar dan melihat di kejauhan hamparan padang rumput ini, ada banyak orang yang membawa benda yang menyala, sepertinya itu adalah obor api. Ia tidak tahu apa yang sedang terjadi. Namun yang pasti, ia tahu kalau dirinya harus berlari dari tempat ini. Orang-orang itu mungkin saja adalah orang jahat dan ia tidak ingin ditangkap oleh mereka.

Ia harus berlari dan menemukan jalan kembali ke Balwanadanawa.

Perlahan, Tatjana melangkahkan kakinya dan entah mengapa, kakinya terasa berat, seolah dirinya sudah lama tidak menggerakkan kakinya. Walaupun begitu, ia tetap memaksakan kakinya untuk melangkah. Ia tidak bisa ditangkap oleh orang-orang yang tidak dikenalinya itu karena entah mengapa, Tatjana merasa kalau mereka sedang mencarinya.

Tatjana terus berlari dan sebisa mungkin menjauhi hutan karena padang rumput tempatnya berada sekarang dikelilingi hutan yang lebat dan gelap. Ia berlari sambil mencari-cari celah yang bisa membuatnya keluar dari padang rumput ini. Namun, jalur yang diambilnya justru membuatnya semakin mudah ditangkap oleh orang-orang yang membawa obor itu. Ia terlalu sibuk mencari celah di antara hutan hingga ia tidak begitu memperhatikan langkahnya.

"AARGH!" teriaknya kencang ketika seseorang menarik lengannya, membuatnya tidak bisa berlari lagi.

Satu per satu dari mereka mulai berjalan ke arahnya dan Tatjana benar-benar merasa takut. Ia sama sekali tidak mengenali wajah-wajah itu dan pakaian yang mereka kenakan terlihat sangat kuno. Di saat seperti ini, Tatjana berusaha untuk mencari celah di antara orang-orang itu untuk melarikan diri, walaupun sepertinya tidak ada celah yang bisa membuatnya bebas dari sini.

Kemudian, saat ia sedang berusaha mencari celah, salah satu di antara mereka bersuara, "Ajeng Manika?"

Tanpa sadar, suara orang itu membuatnya sedikit merasa lega. Setidaknya, mereka menggunakan nada lembut, bukan nada kasar dan menakutkan. Tapi, nama siapa yang dipanggil itu? Siapa Manika? Jelas itu bukan namanya, karena namanya adalah Tatjana Ruby Suwaryono.

Permata Dari RembulanOù les histoires vivent. Découvrez maintenant