BAB 7

745 108 19
                                    

Tatjana duduk dan meletakkan seikat bunga yang ia kumpulkan di atas makan ibu Manika. Ia duduk di pinggiran makam yang sudah menghijau oleh rumput. Lama sekali ia duduk dan berdiam diri di sana. Entah bagaimana, mengunjungi makam ibu Manika seperti ini sudah menjadi kebiasaannya. Ia tidak tahu bagaimana Manika. Namun, ia yakin kalau Manika pasti akan selalu menjaga makam ibunya. Maka dari itu, ia akan menggantikan tempat itu. Selama ia meminjam identitas Manika, ia akan menjalankan tugas itu dengan baik.

"Aku bahkan gak tahu siapa nama Tante," kata Tatjana sambil menyentuh batu yang ada di atas makam. "Aku juga enggak tahu siapa pun yang ada di sini."

"..."

Semilir angin menerpa wajahnya Tatjana.

"Sebenernya kita sama. Tante di sini sendirian, dan aku juga sendirian walaupun ada banyak manusia di sekitarku," kata Tatjana lagi.

Ia tahu kalau tidak akan ada yang membalas ucapannya. Namun, mengeluarkan beberapa hal yang tidak bisa ia keluarkan di hadapan siapa pun ternyata cukup menenangkan. Tatjana merasa cukup terhibur karena semilir angin seolah menjawab setiap ucapannya.

"Aku gak tahu apa besok aku masih hidup atau enggak. Aku juga gak tahu gimana caranya aku kembali ke tempatku."

"..."

"Aku gak tahu gimana kehidupanku. Tante tahu? Aku lupa beberapa hal."

"..."

Tatjana menatap pakaian yang ia kenakan. Meskipun tidak mengerti, namun ia tahu kalau baju ini pasti sangat mahal karena baju ini berbeda dengan baju yang dipakai oleh para pelayan yang ada di rumahnya. Begitu juga dengan orang-orang yang ada di pasar dan di bagian manapun pada tempat ini.

"Aku tahu kamu berada di sini."

Tatjana menoleh dan mendapati Ranajaya yang sudah duduk di sebelahnya. Aghiya. Ya, ia memiliki orang lain yang ia kenali. "Aku ingin selalu ada di tempat yang tenang seperti ini."

Ranajaya tersenyum. "Kamu tidak berubah. Kamu selalu mengunjungi ibumu."

Tatjana menatap langit dan ia berdiri. Ditatapnya sungai Balwanadanawa yang ada di bawah bukit ini. Jika ia belum bisa menemukan jalan kembali, berarti ia harus belajar mencintai tempat ini, kan?

"Balwanadanawa. Bagaimana tempat ini? Bagaimana pangeran mahkotanya?" tanyanya.

Ranajaya ikut berdiri dan menatap sungai Balwanadanawa. "Balwanadanawa adalah tempat yang indah. Aku bisa menjelaskan segala hal tentang Balwanadanawa. Namun, aku tidak bisa menjelaskan tentang sang pangeran mahkota. Tidak ada yang tahu bagaimana wajahnya selain orang-orang yang bekerja secara langsung untuk istana."

"Apa dia disembunyikan?" tanya Tatjana. Seingatnya, ada banyak pangeran pada masa lalu yang disembunyikan untuk keamanan pangeran itu sendiri.

"Bukan," jawab Ranajaya. "Sang pangeran mahkota menghabiskan banyak waktu di medan perang. Setelah menyelesaikan satu perang, dia akan pergi ke tempat lain dan menjaga tempat itu. Dan pergi ke tempat lain lagi jika di sana sudah aman. Begitulah selama bertahun-tahun. Sampai-sampai tidak ada yang mengenalinya."

"Oh.."

"Tapi beberapa hari lagi sang pangeran akan kembali ke istana dengan sang raja dan rombongan lainnya."

Entah mengapa, Tatjana merasa tertarik dengan sosok sang pangeran mahkota. Mungkin karena ia tidak pernah mengenali pangeran mahkota mana pun, dan kini ia hidup di tempat dimana ia memiliki seorang pangeran mahkota sebagai penerus takhta kerajaan. Namun, tiba-tiba saja kepalanya terasa pusing dan tatapannya menggelap. Tatjana tidak tahu apakah sekarang dirinya duduk atau berdiri karena kepalanya terasa sangat sakit.

Permata Dari RembulanWhere stories live. Discover now